Minggu, 19 Februari 2023

Kamera Bekas


Kamera bekas?
Bekas apa dulu nih?!

Untuk cerita kali ini masih akan berbicara tentang dunia kamera, sepertinya bahasan ini mulai menarik dan mendapat bagian untuk diangkat. Sebagai pelengkapnya sudah ada cerita tentang daftar pembelian kamera (digital) yang baru di sini. Kemudian berlanjut tentang hasil foto dari sebagian kamera tersebut di sini, persis sebelum postingan ini dibuat. Jadi sesuai judul ada sebuah dongeng tentang kamera bekas, artinya bukan yang baru. Xp

Asal mulanya itu berasal dari keingintahuan saya, mengenai proses cetak foto di zaman dulu. Sebelum kamera digital banyak kita jumpai sekarang, termasuk pula jenis kamera yang tertanam di telepon genggam kita, maka ada kamera yang memakai roll film negatif. Ada sebuah ruang yang cukup menarik bagi saya, yaitu kamar gelap ketika sebuah foto dari kamera analog (manual) dicetak. Hingga akhirnya saya juga belajar karena rasa penasaran tersebut.

Saat mengikuti pengajaran tersebut, ternyata semuanya masuk dalam pembahasan, termasuk pula langkah awalnya, bukan hanya di langkah akhir mencetak foto di kamar gelap. Jadi agar maksimal dalam pembekalan pengetahuan, maka kita perlu praktek langsung. Jadi hampir semua teman kelas saya kala itu punya kamera, khususnya yang berjenis SLR (Single Lens Refleks) dengan ciri khas lensa yang menonjol keluar dari body kamera.

Akhirnya saya juga ikutan untuk punya kamera jenis tersebut, ditemani teman kelas saya kala itu, membeli di pasar jual beli kamera bekas di Pasar Baru. Tujuannya memang hanya untuk praktek, bukan untuk punya dalam tanda kutip. Alasannya menurut saya kamera jenis analog ini kemungkinan akan tergusur, dengan kedatangan teknologi digital. Kala itu kamera digital resolusi umumnya ada di angka 3,2 Megapixel, sementara untuk handphone masih di kisaran 1 Megapixel saja, sebelum semakin naik dan seterusnya hingga sekarang.

Mungkin karena buta pasar dan produk, akhirnya saya mengikuti saran teman kelas yang lebih berpengalaman tersebut. Sebuah kamera akhirnya diangkut, tapi sepertinya tidak mendatangkan kepuasan yang maksimal bagi saya. Bahkan langsung punya rencana untuk dijual kembali dengan segera, tapi pada akhirnya bertahan selama periode pengajaran berlangsung. Termasuk pula mendapat komentar bagus, bahwa kamera saya itu punya fungsi otomatis, tapi saya lupa di bagian mana otomatis tersebut berkerja.

Hingga akhirnya saya menjual kembali kamera bekas tersebut, ternyata masih cukup laku dan banyak toko yang siap membeli kembali. Kamera saya itu labelnya Canon, serta punya lensa yang diam (fixed lens), alias tidak punya fungsi zoom (perbesaran) lensa. Hanya bisa memainkan fokus dan diafragma saja di bagian lensa.

"Ini mah saya buat pajangan aja ditaro di sini" ujar salah satu pemilik toko, menunjuk lemari kaca etalasi dari tokonya. Memberi alasan akan diapakan kamera saya tersebut andai dibeli. Ditawar dengan harga sekian, pastinya lebih rendah dari saat saya membelinya tersebut.

Kemudian niat untuk punya kamera dalam arti sebenarnya mulai datang, hingga saya mengincar jenis yang punya fungsi zoom. Salah satu keunggulan ini yang awalnya menarik minat saya, ketika pandangan kita bisa mendekat dalam jarak tertentu ke objek yang dibidik. Salah satu guyonannya adalah kemampuan mengintip, karena bisa menangkap momentum yang jaraknya jauh dan secara diam-diam, hingga istilah paparazi mungkin berawal dari sini.

Akhirnya saya juga punya kamera jenis ini, kondisi barangnya masih berupa kamera bekas. Kala itu untuk produk baru mulai jarang, atau dengan harga yang sangat mahal. Kembali lagi situasi pasar mulai terbaca, bahwa teknologi yang lebih berkembang adalah kamera digital, sedangkan kamera analog (manual) sepertinya sudah akan lewat masanya.

Kamera jenis SLR dengan lensa zoom akhirnya saya beli dari toko kamera tertentu. Sejak awal memang sudah naksir ketika melihat penampakan fisiknya. Berbeda dengan kamera yang sudah saya jual, sejak awal berasa ada yang kurang, mungkin juga karena kurang sesuai dengan minat. Labelnya adalah Cosina, ketika beli dan punya ada rasa puas, salah satunya sikap norak memainkan fungsi zoom, lensa maju dan mundur. Xp

Hingga akhirnya zaman terus berkembang, kemudian saya beli kamera digital yang lebih praktis. Jenisnya hanya kamera saku, bukan kamera SLR yang versi digitalnya bernama DSLR. Perbedaannya dengan kamera biasa, jenis SLR ini bukan hanya menghasilkan gambar tajam, tapi tertajam, alias bisa fokus pada objek foto tertentu, sementara yang lainnya buram. Untuk masa sekarang serupa dengan fungsi Bokeh di banyak kamera. Cara kerja ini berlaku di dunia jurnalis, karena sebuah foto bisa punya fungsi komunikasi, hingga hanya fokus pada apa yang diberitakan.

"Wah sayang tuh jangan dijual. Nanti kan jadi barang antik, bisa diceritain ke anak-anak lu" ujar teman, saat mengetahui rencana saya untuk menjual kamera tersebut. 

Sebuah perkataan yang memang cukup masuk akal, agar ada kenangan yang bisa diteruskan kepada anak-anak kita. Tapi kala itu memang kondisi keuangan cukup terbatas, hingga lebih mementingkan nilai ekonomis ketimbang nilai pusaka, sesuatu yang dibangun untuk mengenang dan menjadi kenangan nyata. Xp

Jadi fungsi kamera jenis ini SLR baik yang versi analog dan digital, ternyata kemampuan utamanya ada di fokus yang tertajam, bukan hanya tajam biasa. Alias kita bisa mengarahkan ruang fokus pada ruang yang sempit. Misalnya kita dengan teman bertiga berjejer, satu agak maju dan yang lain agak mundur. Kamera ini bisa fokus hanya di kita saja, sementara teman yang di depan dan belakang jadi buram, untuk ini maka bukaan diafragma (aperture) lensa akan maksimal, tapi dengan keterangan nilai angka terkecil.

Cerita tentang keunggulan kamera jenis ini juga berlanjut pada waktu kuliah, waktu itu ada kelas Fotografi. Bedanya kali ini saya tidak beli untuk praktek dan buat tugas, tapi hanya pinjam kamera teman saja, kebetulan ada tugas berkelompok juga seingat saya. Pada zaman ini kamera DSLR sudah mulai banyak yang pakai, serta dengan harga yang mulai terjangkau. Sebaliknya jenis analog mulai tergerus zaman, salah satu alasannya tidak praktis, karena harus melewati proses yang sulit, termasuk kamar gelap yang pada mulanya membuat saya penasaran. Di bawah ini adalah salah satu foto saya, untuk pembuatan tugas fotografi malam.
Bukan fokus pada objek foto
Tapi fokus pada shutter speed rendah
Hasilnya objek (bis) terlihat bergerak

Kemudian cerita dan zaman berlanjut dan berjalan, kamera jenis DSLR ini juga punya pesaing untuk sekarang ini. Teknologi jenis Mirrorless akhirnya datang, menawarkan sesuatu yang tidak dimiliki saudara tuanya itu. Salah satunya kecepatan shutter speed, karena untuk jenis DSLR cara kerjanya masih memakai sistem mekanis, alias ada kaca yang bergerak kilat di dalam kamera, sementara di jenis teknologi baru proses ini sudah dihilangkan. Kecepatan lebih dari seribu per detik ternyata memang peranan penting, serupa dengan kecepatan kita mengedipkan mata.

Akhirnya kemarin ini saya mulai ada niat untuk penyegaran kamera, tapi ternyata pasar sudah banyak berubah. Produsen kamera sudah tidak lagi fokus di produk menengah ke bawah, alasannya karena langsung bersaing dengan kamera handphone yang semakin berkualitas tajam. Hingga cukup sulit menemukan produk (baru) yang sesuai dengan kantong untuk jajan saya. Xp

Untuk jajan di harga yang jauh di atas perencanaan tentu tidak bijak, hingga pilihan pada produk tertentu mulai mengemuka. Misalnya kamera tipe lama, atau yang tipe bagus tapi dalam kondisi bekas, semua itu akan kembali lagi pada pengguna. Untuk beberapa tipe kamera inceran saya itu, harga barunya jauh di atas budget yang disiapkan, pastinya fungsi yang didapat akan maksimal dari teknologi fotografi. Tapi sepertinya segudang fungsi itu tidak semuanya saya perlukan, jadi masih menahan diri untuk pembelian.

Kebijakan saya yang ogah beli barang bekas juga perlu direvisi, mengingat untuk kamera jenis SLR dulu saja (cerita di atas) saya membeli yang berjenis second. Tambahan lagi barang bekas itu tidak semuanya akan jelek, meski statusnya tidak dapat diganggu gugat karena bukan tangan pertama. Mengingat pula saya juga sering menjual barang yang sudah tidak pakai, pastinya masih berkualitas baik untuk pengguna selanjutnya. Andai barangnya sudah rusak dan tidak layak pakai, tidak akan dijual karena bisa merugikan pembeli selanjutnya. B)

Akhirnya setelah melalui rangkaian pertimbangan, saya berminat pada kamera dengan garansi distributor. Alasannya karena produknya sendiri sudah tidak dipasarkan oleh distributor resmi, alias sudah berstatus discontinued, jadi mungkin hanya jual sisa-sisa stock saja dan itu sudah lama juga rentang waktunya. Jenis garansi ini tidak lain dan tidak bukan merupakan garansi toko. Untuk produk lama sangat dipastikan kondisinya bukan baru 100%, tapi "dibarukan" kembali dengan maksimal, ada pemeriksaan dan perbaikan produk. Tapi harus hati-hati pula, ada juga penjual yang nakal, barang second yang langsung dijual dengan judul baru, tanpa ada pemeriksaan atau perbaikan sama sekali.

Kamera dengan label Canon Powershot SX akhirnya diangkut, kemampuan utamanya seperti bernostalgia, karena punya zoom panjang, bahkan menjadi yang tertinggi dengan zoom 45x. Impian punya kamera "pengintip" di masa lampau akhirnya baru kejadian sekarang. Tambahan lagi jenis teknologinya sudah beda, karena ini bukan kamera analog, tapi digital yang hasilnya bisa terlihat secara instan. Bahkan punya fungsi lain yang menghasilkan gambar bergerak, alias video dengan resolusi yang sudah cukup tinggi.


Untuk keunggulan zoom ini juga membuat puas, sehingga pantas dijuluki kamera digital dengan fungsi super zoom. Bedanya lensanya itu sudah tertanam, seperti kamera poket pada umumnya, bukan yang tipe DSLR yang bisa dicabut pasang. Cara kerja optical (gerakan) lensa untuk zoom itu masih manual, karena pakai metode maju mundur lensa. Kemudian ada juga digital (otomatis) zoom teknologi terbaru, ketika sebuah handphone kelas atas bisa memotret bulan dengan jelas. Kemungkinan ada campur tangan kecanggihan software, ketika gambar yang terpotong itu dikalkulasi (dijepret) ulang dengan pixel baru.

Kemarin ini juga langsung beraksi belum lama ini. Langsung mengabadikan (lagi) kota Jakarta, karena memang ada sudut pandang baru yang bisa diangkat. Salah satunya lokasi Stasiun Jakarta Kota, sebagai salah satu peninggalan cagar budaya, alias punya nilai sejarah sebagai saksi benda mati. Seluruh rekaman menggunakan kamera ini, sekaligus memanfaatkan fungsi zoom panjang di beberapa bagian.

Harga kamera ini juga hanya 30% dari harga barunya, jika dibandingkan dengan tipe sejenis yang masih beredar secara resmi sekarang. Awalnya ada cara memeriksa sudah berapa kali kamera itu bekerja, misalnya shutter count yang menandakan berapa kali kamera itu buka tutup sensor. Ternyata ada yang bilang itu hanya berlaku pada foto, sedangkan video tidak masuk hitungan karena cara kerja yang beda. Ada sebuah angka yang saya dapat, sebagai batas wajar kamera bekas masih bagus dari segi lama penggunaan. Tapi cara itu tidak bisa diterapkan, karena hanya berlaku pada kamera jenis DSLR saja, sementara kamera saku atau digital biasa tidak ada perhitungan yang demikian. 

Sampai akhirnya ada sebuah cara jitu, yaitu dengan memeriksa penamaan file dari foto atau video yang kita ambil. Biasanya ada kode file dan nomor urut di belakangnya, selalu berurutan baik foto atau video, hingga diketahui sudah berapa kali kamera itu mengabadikan momentum. Contohnya di bawah ini, file kamera punya nomor urut tiga, alias baru tiga kali dijepret, pada saat saya tes kamera baru Canon Ixus 145, mengarah ke kamera lama sebagai modelnya. Xp

Kemudian dalam waktu yang singkat dan jarak berdekatan, timbul niat untuk mengangkat kembali hobi lama. Ada rencana untuk membeli kamera jenis analog untuk sekadar bernostalgia. Karena hanya untuk koleksi tentu tidak perlu fungsi yang maksimal, cari saja yang harganya murah, bahkan ada yang jual sekadar untuk pajangan saja. Tapi jika masih berfungsi tentu akan lebih baik, nostalgia jadi lebih penuh karena menikmati prosesnya juga, ketika sebuah foto tercetak dari jenis kamera ini. 

Pada kamera analog (manual) murni, maka kita bisa mengoperasikan alat tanpa batas, serta tidak perlu battery. Biasanya ditandai dengan adanya kokang (pemutar film) yang bunyinya "Srettttt...", kemudian baru jepret gambar dengan bunyi "Krekkkkk...." sebagai pasangan utama kamera. Daya battery hanya untuk pengukuran cahaya lightmeter saja, tanpa battery juga bisa jepret-jepret sesukanya.

Sementara saya juga menemukan produk yang dulu sekadar jadi tipe impian, ketika merasa mahal dan tidak mungkin menjangkau harganya. Ternyata jenis itu merupakan kamera semi otomatis, karena memerlukan daya battery untuk penggunaan. Dari pemutar film, pengaturan shutter dan diafragma, itu berlaku secara otomatis dan digital, tanpa perlu kita geser2 sendiri secara manual. Sebuah kecanggihan teknologi yang sangat baik pada masanya, kamera analog dengan cara kerja digital.

Sempat terjadi pemilihan yang tidak mudah, antara harga yang murah, atau yang sedikit labih mahal, tapi pastinya di bawah pasaran harga kamera digital harian untuk masa sekarang. Antara ingin praktis bisa jepret-jepret dengan bunyi khas tanpa perlu daya battery, atau perlu menggunakan tenaga yang sebetulnya juga tidak terlalu mahal, untuk sebuah keunggulan fungsi di kamera generasi yang sama. Tentu harga yang semi otomatis sedikit lebih tinggi, tapi dengan tampilan yang lebih menarik, bahkan pada masa lampaunya dulu sempat saya taksir. :P

Canon Eos 66 akhirnya diangkut untuk bagian dari hobi, tentunya kondisinya juga bekas, karena sudah sangat jarang kamera analog yang statusnya barang baru. Bahkan perkataan dari dua sosok yang berbeda di atas seolah jadi nyambung, ketika mereka berkomentar saat saya hendak menjual kamera analog dua kali pada kesempatan berbeda dulu.



"Ini mah saya buat pajangan aja ditaro di sini"
Bagi saya sekarang memang untuk koleksi
Bahkan beruntung masih bisa foto-foto dari kamera antik
:o

"Wah sayang tuh jangan dijual. 
Nanti kan jadi barang antik, bisa diceritain ke anak-anak lu"
Bagi saya sekarang ternyata bisa dibeli kembali
Bahkan tipe produknya juga lebih baik
:P

Kembali lagi di awal, asal mulanya saya penasaran dengan ruang kamar gelap, ketika sebuah foto dicetak dari roll film negatif. Tapi ternyata sesungguhnya proses itu juga terjadi di dalam kamera, baik jenis analog atau digital. Caranya dengan merekam gambar yang dibidik melalui lubang lensa, ketika dijepret maka cahaya diarahkan ke media penyimpanan, berupa film negatif (analog) atau sensor (digital). Jadi sesungguhnya kamar gelap utama itu ada di alat kameranya sendiri, detik-detik ketika sebuah momentum diabadikan.

Artinya ruang kamar gelap itu "sangat penting" untuk sebuah pengabadian momentum. Bahkan untuk kamera jenis analog ini perbedaannya bisa kita jumpai dengan mudah, kenapa? Karena medianya sendiri rentan terhadap cahaya, hingga zaman dulu kita sering mendengar istilah film roll film atau foto yang terbakar. 

Tapi bukan berarti cahaya dalam jepret kamera itu jadi buruk, justru sebaliknya wajib dibutuhkan dalam proses "cetak" ke media penyimpanan kamera, tapi kadarnya harus sesuai. Andai berlebihan jadinya lebih terang (over-exposure), andai kekurangan jadinya lebih gelap. Kemudian tugas cahaya itu selanjutnya sebagai terang benderang, mengungkap kejadian termasuk di dalamnya "momentum yang diabadikan" oleh kamera itu ada, hingga istilah foto itu sangat puitis, melukis dengan cahaya.

Serta yang terutama, bukan seberapa canggih alat dari kamera, tapi siapa yang menggunakan kamera tersebut. Kamera yang mahal dan punya segudang fungsi tentu punya keunggulan, karena ada pilihan untuk berkreasi lebih banyak. Sementara untuk pengguna, cukup penting untuk dapat membidik gambar dengan lebih baik, bisa dimulai dari pandangan kedua mata kita, sebagai lensa tercanggih di dunia dari Pencipta. B)

Detik-detik sebuah momentum terjadi, tentu lebih penting ketimbang yang sengaja diabadikan. Seseorang menggunakan kamera untuk mengabadikan suasana, tentu suasana asli yang abadikan itu tetap punya nilai penting, sebagai waktu-waktu hidup kita semua.

Kamera?
Semua sudah punya sekarang
Sudah seperti kacang goreng.
:D