Sabtu, 18 November 2023

Nostalgia Karyawisata


Untuk cerita kali ini, idenya terlintas belum lama ini, bermula dari ingatan sejenis pada pengalaman serupa sewaktu dulu. Pastinya jika membaca judul akan mengerti, karena mungkin sebagian dari kita pernah mengalaminya. Karyawisata sudah pasti dilakukan oleh pihak pelajar, secara dominan berlaku di tingkat dasar pendidikan sekolah.

Kenapa tiba-tiba terlontar ide ini? Yah karena saya menjumpai kelompok mereka, para pelajar yang masih "bocah" mengadakan kegiatan wisata. Menuju tempat-tempat tertentu, biasanya punya nilai "sejarah" yang menyertai, hingga mereka dapat belajar langsung dari sana, di lapangan dan di luar ruang kelas sekolah.

Pertama-tama itu saya jumpai di awal tahun ini, ketika pada waktu lalu "akhirnya" masuk lagi untuk kali kedua, ke dalam bangunan Monas setelah sekian lama. Pada pengalaman pertama secara kebetulan dilakukan saat masih pelajar, dengan acara karyawisata sejenis, jalan-jalan sekaligus belajar di sana. Perbedaannya kala itu saya juga baru pertama kali pula, untuk naik di lantai atas tugu Monas di sana.

Pada saat di dalam menjumpai anak-anak sekolah yang datang, tentunya dengan didampingi oleh gurunya selaku wali murid. Saya berwisata di sana dengan sedikit nostalgia, melihat barisan patung lilin di balik jendela kaca, mengelilingi kubah berbentuk kotak di bangunan lantai bawah tanah. Kemudian tidak lupa mampir ke bagian dalam cawan, di sana agak lebih sempit, serta tersimpan duplikat salinan teks proklamasi, tidak lupa juga eksis dengan latar belakang Garuda Pancasila sebagai simbol negeri kita.

Kemudian pada saat akan kembali tetap merekam suasana sekitar, termasuk suasana di luarnya, hingga ditemukan pemandangan yang menarik. Kala itu para murid dari kelompok lain berbaris rapih, untuk menaiki kendaraan wisata yang akan mengantar, menuju pintu masuk bangunan Monas. Seketika rasa nostalgia itu muncul, jika saya pernah ada di posisi tersebut.

Pengalaman kedua terjadi belum lama ini, saat mengunjungi Bandung dengan sistem kilat. Kala itu singgah di Taman Hutan Raya Djuanda, menuju goa yang tersedia. Kembali saya menjumpai kelompok anak sekolah ini, seketika rasa seru berkaryawisata pada waktu lampau teringat kembali. Hingga idenya itu bermula dari sana, hingga terus berkembang dan tertuang dalam tulisan ini.

Hingga ide itu mulai berkembang dan jadi sebuah tulisan, tentang nostalgia karyawisata sewaktu dulu, pasti masing-masing dari kita juga pernah mengalami. Sebuah kenangan yang tersimpan dalam ingatan, tidak ada salahnya pula untuk diangkat kembali. Berbeda juga secara situasi dan kondisi, berlaku pada setiap generasi, karena kemampuan teknologi dokumentasi juga berkembang, sekarang ini tentu lebih mudah ketimbang zaman dulu.

Untuk pengalaman saya ini, karyawisata pertama yang saya ingat adalah mengunjungi Kebun Raya Bogor di luar kota. Kala itu datang di pagi hari menjelang siang, kemudian agak sore mulai kembali. Salah satu tugasnya mencatat nama tanaman atau pohon selama di sana, tidak memakan waktu lama. Hingga akhirnya acara bebas lebih dominan, kami berkumpul dan piknik di lapangan hijau terbuka.

Tidak pakai lama, ada seorang guru yang mengarahkan kami untuk ikut. Ternyata kami mengunjungi jembatan gantung berwarna merah. Kala itu masih cukup takut sebagai bocah, entah khawatir jembatannya putus atau terpleset jatuh. Hingga akhirnya acara terpusat di lapangan terbuka hijau, sebelum kembali dari sana. Kemudian pada saat dewasa kembali ke sana beberapa kali, berwisata hijau dan sedikit bernostalgia, pada khususnya di kesempatan awal.
Kebun Raya Bogor - Lapangan Hijau Terbuka

Kebun Raya Bogor - Jembatan Gantung

Karyawisata lainnya yang teringat adalah ke Seaworld Ancol, pada saat ke sana yang saya ingat adalah kemacetannya di Pasar Ikan. Kemudian salah satu bis ada yang mogok, hingga semua muridnya mengungsi ke bis lain, salah satunya bis saya sendiri. Cerita tentang pemilihan tempat duduk sudah jadi inspirasi, ketika tulisan berjudul Tepatnya Cepat dibuat di sini.

Pada edisi ke sana, kami semua menghabiskan banyak waktu di sana. Melihat akuarium raksasa yang bisa dikelilingi, seperti memasuki satu lorong berkaca. Kolam raksasa itu bisa pula dilihat dari lantai atas. Hingga akhirnya acara lanjutan hanya bermain di pantai saja. Dokumentasi hanya dari kamera film, pastinya hanya mereka yang punya uang lebih pada zamannya dulu. Pada saat dewasa saya hanya sekali saja mampir ke sana lagi (Seaworld), tapi lupa untuk dokumentasi. :P

Karyawisata lain ada lagi menuju Lubang Buaya, pastinya ini menyangkut sejarah negeri kita sendiri. Lebih banyak museum yang menampilkan patung lilin atau plastik tokoh kemerdekaan. Di sana tidak ada yang terlalu menarik, hingga akhirnya tujuan kalau tidak salah berlanjut, menuju museum Satria Mandala di jalan Gatot Subroto. Ada juga kunjungan nostalgia saya ke sana, karena di saat dewasa saya lebih fokus pada patung pahlawannya, ceritanya itu di sini, tulisan berjudul Simbol Wisata.

Edisi lainnya adalah menuju Taman Mini, nah pada perjalanan kali ini ada hal lain cukup berkesan. Alasannya kami yang satu geng ada bertiga, ternyata bisa duduk bersama, satu baris di kursi tiga penumpang. Saya agak lupa tujuannya ke mana, pastinya mengunjungi salah satu tempat wisata di sana. Tapi yang saya ingat adalah singgah di satu tempat, kemudian pulang dengan meninggalkan sejuta tanya. Hingga baru terjawab kala saya dewasa, ketika mampir lagi ke sana, ceritanya itu di sini, untuk singgah di museum minyak dan gas bumi, bernama Graha Widya Patra.

Selain itu ada juga perjalanan karyawisata yang saya lewatkan, kalau tidak salah sewaktu ke Selabintana Sukabumi. Alasannya di sana hanya melihat lapangan hijau saja, tidak ada yang menarik selama di sana. Ternyata saya sudah berhitung-hitung tentang tujuan sewaktu bocah, kalau ada yang menarik baru saya ikuti. Xp

Kemudian perjalanan selanjutnya itu bukan lagi karyawisata, melainkan hanya untuk darmawisata. Alias hanya untuk senang-senang saja, untuk pengumuman sekaligus perpisahan sekolah dasar. Berlokasi di daerah Puncak, di pintu Taman Bunga Nusantara. Kala itu kami cukup menikmati tempat wisata tersebut, hingga berlanjut pada taman permainan Alam Imajinasi, serta naik gardu pandang.

Pada saat dewasa juga mampir ke sana lagi, saat pertama kalinya jalan ke Puncak sendiri naik motor. Ceritanya sudah dituliskan di sini, berwisata perdana, sekaligus bernostalgia pada karyawisata sewaktu bocah. Berjalan-jalan di sana saat bocah dan dewasa, tentu akan sangat jauh berbeda, karena pandangan kita saat dewasa akan lebih luas.

Jadi apakah yang gemar bernostalgia itu salah? Segelintir orang ada yang beranggapan, jika gemar nostalgia tidak bisa maju, karena selalu mengagungkan masa lalu, menoleh dan terjebak di masa belakang. Menurut saya tidak, justru karena masa lalu kita itu berkesan, tentu harus dikenang dan diabadikan dengan baik, setuju?

Untuk itu agar kita punya kenangan yang baik di masa depan, sudah pasti kita harus mengisi hari ini dengan sebaik-baiknya. Jangan sia-siakan hari hidup kita, karena sekarang ini adalah kenangan masa nanti. :))