Jumat, 01 Maret 2024

eksplore Bandung Kota


Untuk cerita liburan kali ini, perjalanan wisatanya pernah dibahas di sini sewaktu dulu. Bentuk tulisannya berupa kumpulan pengalaman, jadi hanya cerita secara garis besar saja. Menuju kota yang tidak terlalu jauh dari Jakarta, karena menjadi ibu kota dari propinsi tetangga.

Jadi untuk tulisan ini sengaja dibuat dalam bentuk catatan perjalanan, tapi tidak dilakukan dalam satu kali perjalanan, melainkan ada beberapa kepergian yang bisa digabung, secara kebetulan jarak waktunya juga tidak jauh.

Kenapa tiba-tiba ada rencana ke sana lagi? Setelah sekian lama tidak mampir lagi, padahal sudah banyak juga perubahan di sana, seperti munculnya tempat wisata baru. Jawabannya karena minat belum datang, belum ada yang membuat tertarik untuk singgah di sana.

Sampai akhirnya berita tentang pembangunan kereta cepat datang. Sekaligus membuka ingatan saya tentang kota ini, daya tarik yang baru mencuri perhatian lagi. Beberapa perubahan, serta tujuan lama masih belum berubah, hingga niat untuk berlibur kilat ke sana datang.

Akhirnya saya memilih pakai kereta biasa ke sana, secara kebetulan kereta cepat beluk beroperasi kala itu. Sekaligus ingin bernostalgia, ketika pertama kali naik kereta api, secara kebetulan tujuannya sama ke kota Bandung, di abad kedua puluh yang lalu.

(Babak Satu)
Naik kereta yang punya identitas khas, bernama Argo Parahyangan dengan pilihan jam keberangkatan yang beragam. Konon kabarnya jadwal yang ada akan dikurangi, andai kereta cepat sudah beroperasi. Hingga sekaligus berniat mencoba jenis transportasi KAJJ ini, meski jaraknya sedang dan tidak jauh.

Dari tempat tinggal sengaja naik angkutan umum bis Transjakarta, menuju stasiun Gambir untuk keberangkatan di siang hari. Sampai di sana jelang sore, serta langsung masuk penginapan di dekat stasiun. Rencananya akan menginap satu malam saja, karena memang tidak banyak tujuan selama di sana.

Setelah masuk penginapan, tidak pakai lama saya langsung bergegas keluar. Berjalan kaki dari daerah Kebon Kawung menuju Braga, karena jaraknya tidak jauh jika dilihat dari peta. Hanya belasan menit saja sudah sampai, jaraknya tidak sampai satu kilometer.

Pertama kalinya pula saya ke sana, entah dulu itu belum terkenal atau memang luput dari incaran untuk mampir. Tentunya saya juga langsung mengambil kenang-kenangan, meminta tolong orang sana untuk mengambil foto di petunjuk jalannya.

Di sana berupa jalan yang memanjang, dengan kanan kirinya banyak toko. Saya berjalan kaki dari arah utara hingga ke ujung, kemudian kembali lagi dan mampir ke satu dua tempat. Tidak terlalu lama saya di sana, karena di sana lebih identik dengan tempat nongkrong.

Kemudian dari sana menuju daerah Sukajadi,  menggunakan jasa ojek online. Berhenti di salah satu pusat perbelanjaan bernama Paris Van Java, sebagai tempat menarik karena ada sisi ruang terbukanya.

Sampai di sana masih di sore hari, kemudian baru tahu bahwa di tempat ini ada lantai atasnya (rooftop). Selama ini yang saya tahu hanya di lorong utama saja, di sana ruang terbuka yang jadi daya tarik bagi saya sendiri. Meski hari itu sudah tidak terbuka 100%, karena sudah menggunakan atap transparan. Menjelajahi ruang terbuka di lantai atasnya, sekaligus mengabadikan suasana di sana. Sengaja mengambil waktu menjelang petang, agar dapat pula suasana malamnya.

Dari sana menggunakan ojek online kembali, menuju daerah Paskal, yang ternyata baru saya sadari singkatan Pasir Kaliki, karena posisinya memang ada di jalan tersebut. Mampir di Paskal 23, berupa pusat perbelanjaan di dalam kompek ruko. Tidak ada yang menarik di sana, hanya seperti toko modern pada umumnya. Hanya ada sedikit ruang terbuka pada tiap sisinya, bagian belakang dan dekat pintu keluar.

Tidak lama saya keluar dan kembali ke penginapan, karena posisinya dekat jadi berjalan kaki saja. Beristirahat sejenak setelah bergerak dari sore, bersiap untuk kembali di jam pagi jelang siang hari esoknya.

Pada esoknya di pagi hari, saya sengaja keluar penginapan. Berjalan kaki lagi menuju jalan Pasir Kaliki, di seberang komplek ruko Paskal 23, untuk mencari suasana yang berbeda. Menuju jembatan yang dekat di sana, di bawahnya terdapat rel kereta menuju stasiun Bandung. Menjadi satu tujuan wisata dadakan yang tidak terencana, hingga kembali ke penginapan dan bersiap kembali.

Kemudian membeli jajanan oleh-oleh kue brownies, posisinya masih ada di jalan yang sama. Hingga akhirnya menyeberang ke stasiun, serta kembali untuk datang lagi kemudian. Berakhir pula babak pertama liburan kilat saya, mampir di kota Bandung sana.

(Babak Dua)
Selanjutnya kesempatan kedua datang lagi, jaraknya hanya sebulanan dari wisata kilat yang pertama. Dipengaruhi oleh kereta cepat yang sudah beroperasi, meski pada masa promosi saya tidak dapat tiketnya yang gratis. Akhirnya baru dapat tiket setelah harga normal berlaku, langsung beli seharga 300rb untuk sekali jalan.

Ternyata selang beberapa hari ada harga promosi, hanya dengan 150rb saja sudah bisa mendapat tiket tersebut. Beruntungnya pembelian di harga normal mendapat reward khusus, berupa jatah tiket gratis sekali jalan. Untuk babak kedua ini saya berangkat pakai kereta cepat. Hingga sampai di Bandung cukup memangkas waktu, sekaligus bisa berwisata kilat sehari saja.

Pada siang hari itu sengaja menunggu sejenak, karena hari sedang panas di tengah hari siang. Tambahan lagi tujuannya tidak terlalu jauh, tidak akan memakan waktu lama. Hingga akhirnya menuju Cihampelas dengan ojek online, menyesuaikan waktu dan tujuan singkat selama di sana.

Sampai di sana suasana mulai ada yang berubah, karena suasana menjadi teduh, karena adanya skywalk di sepanjang jalur tersebut. Mampir di satu pusat perbelanjaan bernama Ciwalk, perpaduan suasana dalam dan luar ruangan yang cukup menarik. Hingga selesai melancong kilat dan makan siang di sana, mulai mengabadikan suasana sekitar dan jalan utamanya. 

Kemudian naik ke atas skywalk bernama Teras Cihampelas, yang ternyata cukup menarik juga, ukurannya juga luas memanjang. Dengan fasilitas yang cukup baik untuk wisata sederhana, ruang untuk duduk bersantai dan lain-lain tersesia. Dari ujung jalan layang ini, jembatan Pasupati khas kota Bandung terlihat. Ruang terbuka dadakan yang dibuat sedemikian rupa, berada di atas jalan umum. Setelah jalan-jalan serta mendokumentasikan suasana, akhirnya saya bergegas dari sana.

Menggunakan ojek online lagi, saya menuju jalan Asia Afrika, sebagai salah satu pusat keramaian. Hal ini belum lama saya ketahui, karena mengira pusat kota hanya di sekitar jalan Otista saja. Ternyata berbeda satu dua belokan ada pusat keramaian lainnya, dengan beberapa titik yang lebih punya ciri khas kota.

Gedung Merdeka adalah salah satu titiknya, meski bangunannya sedang tidak beroperasi, tapi punya nilai sejarah. Kemudian ada pahatan tulisan di dinding, pada pinggir jalan yang ada bangunan menyerupai gapura. Bersebelahan pula dengan alun-alun sebagai ruang terbuka di tengah kota.

Saya berjalan kaki saja di sepanjang jalan tersebut, hingga ada persimpangan dengan jalan Otista, di sana mulai berganti dengan aneka toko bahan tekstil. Terus bergerak menuju stasiun sisi selatan di ujung jalan, mengabadikan suasana sekitar.

Bangunan stasiun yang lebih tua (mungkin) ada di pintu ini, dengan berdirinya miniatur kereta di depan pintuu masuknya. Seingat saya dulu saat pertama kali ke sana, keluar stasiun sudah langsung ke pusat kota. Untuk pintu ini lebih banyak diakses sama warga lokal, karena kereta lokal berhenti di peron yang lebih dekat.

Akhirnya saya kembali menggunakan kereta biasa, serta menjajal makan sore di gerbong restonya. Melewati beberapa gerbong ternyata cukup terasa juga guncangannya, terlebih saat keluar dan berpindah gerbong, tempat fasilitas toilet tersedia. 

Hingga selesai pula wisata kilat sehari saya, dalam rangka babak kedua. Kembali pulang untuk datang (lagi) kemudian. Awalnya sudah merasa cukup puas, tapi jatah tiket gratisan justru menarik untuk digunakan, sekaligus jadi kesempatan untuk berwisata sekali lagi. 

(Babak Tiga)
Selanjutnya kesempatan ketiga datang lagi tanpa disengaja. Memanfaatkan jatah tiket gratis dari kereta cepat. Jadinya mencari tujuan lain yang baru, pilihan yang mungkin dapat didatangi dengan cepat. Meski mulai ada rasa bosan, karena andai sudah merasa cukup untuk apa minta tambah lagi? Xp

Pertama jatuh ke lokasi Taman Hutan Raya Djuanda, di pintu masuk Dago Pakar yang lebih dekat ke kota. Ada juga pintu masuk lainnya di atas di kawasan Maribaya, saya pernah mampir ke sana dulu. Jika di pintu atas banyak air terjun, di pintu bawah banyak Goa yang eksis di sini. Dibangun pada masa penjajahan Belanda dan Jepang. Sesampainya di sana sedang ada renovasi di pintu utama, hingga diarahkan ke pintu kedua, berjarak ratusan meter saja.

Saya langsung mengabadikan suasana di sana, mengunjungi Goa Belanda yang memotong bukit hingga ke sisi lainnya. Di sana berbarengan dengan sekelompok pelajar, mereka sedang mengadakan karyawisata. Pada ujung Goa sisi lainnya, jalan aspal yang agak lebar mulai berubah, menjadi jalan setapak berbatu yang lebih sempit, andai mau menjelajah sampai atas.

Saya juga berniat ke Goa Jepang juga di dalam sana. Tapi sayang sekali aksesnya sedang ada renovasi, tidak bisa dilewati kata petugas sana. Selain dari pada karyawisata para pelajar, ada juga kegiatan yang dilakukan oleh satu identitas, menggunakan aula terbuka di dekat pintu utama.

Setelah selesai berwisata di sana memesan ojek online lagi, untuk kembali ke tengah kota. Tujuan berikutnya adalah tempat dadakan, hasil pencarian di peta Google Maps, ruang terbuka hijau bernama Babakan Siliwangi, posisinya itu di seberang kampus ITB.

Berjalan-jalan di sana yang merupakan Hutan Kota, lokasinya satu pintu dengan fasilitas olah raga dari kampus. Saya mengincar jalur hijau khusus, berupa jembatan yang mengelilingi kawasan tersebut, khususnya di bagian ruang hijau.

Setelah menyusuri jalur hijau tersebut, bersantai sejenak di ruang untuk duduk. Menyesuaikan waktu dengan jam kepulangan, lebih cepat dari kunjungan kedua sebelumnya. Karena tiket kereta biasa untuk pulanh, baru saya beli ketika sampai di sana di hari yang sama. Memperkirakan waktu yang dihabiskan, serta dengan durasi yang sesingkat-singkatnya.

Dari sana tujuan berikutnya ke Rumah Mode, jaraknya cukup dekat dan berjalan kaki saja. Sekaligus makan siang di satu warung nasi, setelah melihat penampakan telor dadarnya yang cukup tebal. Di sana hanya mengulur waktu saja, tidak melihat bagian pakaian, tapi hanya mampir di bagian oleh-oleh saja. Membawa pulang minuman instan siap saji, yang rasanya khas dengan selera lokasi wisata. 

Hingga akhirnya kembali ke stasiun pakai ojek online, serta menunggu waktu kepulangan dari wisata kilat sehari. Berakhir pula perjalanan liburan saya ke ibu kota Priangan, terbagi dalam tiga babak.  Jika digabung ketiganya, maka menghabiskan waktu tiga hari saja. Bedanya untuk kali ini ada cicilan perjalanan, alias diselingi dengan pulang dulu. :P

Sekaligus menjadi yang pertama pula, ada cut & action di rute tujuan yang sama, tapi di perjalanan yang berbeda. Agak lain dengan perjalanan yang sama, tapi karena rutenya ke sana dan ke sini, ada pemotongan durasi di tengah perjalanan.