Minggu, 09 September 2012

eksplore Tawangmangu



Pada bulan lalu Agustus 2012 saya melakukan perjalanan selama dua minggu, di mana pada awalnya durasi perjalanan dari tiket murah yang dipersiapkan hanya berdurasi satu minggu saja, tetapi sengaja saya membuat dua versi keberangkatan, hal itu untuk mengantisipasi gagal berangkat disalah satu tanggal, kebetulan saya mendapat tiket cukup murah yang saya beli tahun lalu sebagai dari akibat promo Air Asia.

Tiket promo Air Asia yang saya miliki adalah dua tiket satu arah CKG-YOG yang tertanggal 2 dan 9 Agustus seharga 50rb, sedangkan tiket pulang saya beli DPS-CKG juga 2 tiket tertanggal 8 dan 15 Agustus seharga 100rb, pada masa 'penantian' saya sempat pula membeli tiket CKG-SUB dari promo maskapai Citilink tertanggal 9 Agustus seharga 75rb. Mengapa arah tujuan rute terlihat sedemikian kacau? jawabannya tujuan utama saya kala itu adalah mengunjungi Bromo dengan tiket murah. :p

Pada akhirnya banyak tempat sepanjang perjalanan yang cukup menarik perhatian saya, salah satunya Pacitan yang lokasinya kurang strategis tetapi sudah agak dekat dengan Yogyakarta, muncullah ide berani menggabungkan dua versi tiket awal yang saya miliki tersebut sehingga perjalanan saya akan panjang yaitu 2 minggu, berangkat tanggal 2 Agustus ke Yogyakarta dan pulang dari Bali tanggal 15 Agustus.

Tanggal 2 Agustus 2012 akhirnya saya bersiap untuk keberangkatan pada siang hari, dimana saya sudah stand by di airport dan berangkat tepat waktu, kira2 jelang pukul 4 sore saya sampai di bandara Adi Sucipto, awalnya rencana saya dari jalan bandara hendak langsung ke Solo karena disana banyak tersedia bus tanggung tetapi hal tersebut saya batalkan.

Saya memutuskan memasuki kota sesaat, ya apa lagi kalau bukan Malioboro, dari bandara saya menaiki bus umum TransYogya hanya membayar 3rb saja, sesampainya disana seperti biasa saya berjalan kaki di pusat keramaian Malioboro, sempat mengisi perut di depan pasar Beringharjo untuk kemudian berjalan kaki lagi smpai alun-alun utara untuk membuang waktu.

Kebetulan saya belum pernah mengunjungi alun-alun selatan atau kidul dimana disana terdapat dua pohon besar yang punya cerita magis, ketika pesawat bersiap mendarat saya melihat itu sangat kecil dari atas, saya memutuskan berjalan saja karena dari peta nampaknya tidak jauh, tetapi yang membuat jauh itu karena jalannya agak memutar sehingga menjadi jauh.

Sesampainya di alun-alun selatan maka saya sedikit mendokumentasikan suasana sekitar, dimana sore itu tidak terlalu ramai hingga memutuskan mencari halte TransYogya terdekat untuk menuju terminal antar kota Giwangan, saat menanyai warga terlihat kaget saat mengetahui saya baru berjalan kaki dari Malioboro, diarahkan menuju hal terdekat tetapi dengan rute yang intensitasnya jarang karena kurang populer, beruntung berakhir di terminal yang saya tuju tersebut.

Hari sudah mulai gelap saat tiba di halte dan harus menunggu agak lama sampai bus datang, jelang pukul 7 malam akhirnya saya tiba di terminal Giwangan untuk segera mengambil bus arah Surabaya yang dapat turun di Solo. Menurut aturannya bus antarkota hanya akan mengambil dan menurunkan penumpang di terminal besar karena akan bersinggungan dengan bus tanggung andai tetap mengambil penumpang disepanjang jalan, tetapi saya melihat ada beberapa penumpang yang tetap naik atau turun di tengah perjalanan.

Jelang pukul 9 malam saya sampai di terminal Tirtonadi Solo, dimana saat sampai cukup bingung menentukan arah, karena menurut teman yang asalnya dari sana penginapan murah banyak di jalan Slamet Riyadi tetapi saat di bus saya sempat melewati dan jaraknya itu lumayan jauh, sehingga memutuskan bermalam dekat terminal saja, saya mengambil kamar seharga 80rb dengan catatan sepagi mungkin cek-out nya, menurut saya aturan yang aneh.

Selepas itu saya keluar cari makan untuk mengisi perut karena esok paginya berencana langsung bergerak mengambil bus ke arah Tawangmangu, mengapa saya memutuskan tidak jalan dahulu di kota Solo? karena menurut saya meski terkenal tetapi kota ini tidak menawarkan jenis wisata yang saya gemari, dalam hal ini lebih ke wisata alam, sehingga lebih condong ke Tawangmangu yang berjarak satu jam perjalanan dari pusat kota.

Tetapi daya tarik nama kota Solo memang tinggi sehingga saya mencari info tentang kota ini yang barangkali membuat saya tertarik, meski pada akhirnya hanya sekedar transit saja. Pagi itu saya langsung check-out hotel untuk menaiki bus ke Tawangmangu, pukul 9 lewat akhirnya saya sampai di terminal sana.

Saat turun dari terminal masih cukup bingung karena belum mengantongi info yang cukup tentang transport di Tawangmangu ini, beberapa tukang ojek sempat menawari penumpang yang turun dari bus tetapi saya memutuskan duduk dahulu memikirkan apa yang harus diambil hingga dihampiri seseorang bapak tua yang sudah berumur dan berbincang dengannya, ternyata beliau supir angkutan umum sana.

Tawaran si bapak untuk menggunakan mobilnya tentu agak berat karena saya sendiri sehingga meminta motor saja, seketika disanggupi dengan meminjam motor temannya, ketika keluar terminal sengaja mengambil jalan pintas, menurutnya supaya menghindari tempat mangkal ojek resmi karena tidak enak katanya. Saya diantarkan ke penginapan yang seperti terletak disebuah kampung penginapan, saya mengambil kamar per malam 55rb.

Saat selesai mengurus penginapan, maka pada hari itu juga saya hendak berkeliling, tawar menawarlah saya dengan si bapak tadi menggunakan jasa ojek dadakan baginya, sampai ditemukan kesepakan sekian maka saya langsung berangkat, jasa menggunakan ojek seharian dikenakan 100rb karena ada tujuan saya yang jauh dengan medan yang menajak alasannya, si bapak malah berpikir saya baru berkeliling pada esok hari karena setiap pendatang biasanya seperti itu.

Tujuan pertama saya adalah yang paling jauh, yaitu Candi Cetho yang jaraknya lebih dari 10 km dengan medan yang menanjak, ketika mendekati candi tanjakannya memang semakin menjadi, karena motor tidak kuat, saat berjalan juga seperti tidak dapat mengambil langkah panjang, Candi ini sejenis kumpulan situs purbakala dengan gapura candi dibagian depan sebagai ciri khasnya, semakin kedalam maka kita akan melihat beberapa bentuk bangunan sejarah yang berdiri.

Di sini saya tidak terlalu lama dan mungkin menjadi pengunjung pertama karena belum ada siapapun, hingga datanglah sepasang muda-mudi, ketika hendak kembali juga datanglah beberapa orang. si Bapak yang mengantar saya ternyata cukup cakap berbicara karena seringkali bergurau dengan pengunjung lain dalam logat bahasa daerah, disini saya gratis masuk tanpa tiket karena penjaga tiketnya belum datang. :p

Tujuan kedua saya adalah Candi Sukuh, yang menurut si bapak candi ini menjadi favorit kunjungan turis asing ketimbang candi Cetho sebelumnya, disini saya dibebaskan masuk karena si bapak mengenal penjaga tiket. Saya melihat bentuk candi ini seperti piramida dengan banyak ukiran yang terlihat jelas disekitarnya, ketika masuk sudah ada sepasang turis asing yang nampak cukup serius mengamati setiap ukiran, tidak lama setelah itu ternyata ada beberapa turis lokal yang sedang ada diatas piramida candi yang tidak terlalu tinggi tersebut.

Setelah dari sana awalnya hendak mengunjungi salah satu air terjun, tetapi si bapak menjelaskan bahwa air terjun tersebut sedang kering tidak ada aliran airnya setelah berbincang dengan ibu-ibu disana, jadi rencana berikutnya adalah mengunjungi air terjun lain yang bermana Jumog.

Lokasi ini masih terbilang baru karena belum lama dibuka, disini saya tidak bisa masuk gratis dan membayar tiket masuk 3rb saja, jalannya tidak terlalu jauh hanya beberapa ratus meter sampai di air terjun tidak terlalu tinggi dengan dua aliran yang intensitasnya cukup deras.

Setelah selesai dari air terjun Jumog maka waktu sudah mendekati pukul 2 siang dan saya mengajak si bapak untuk makan dahulu dengan kriteria tempat, murah enak dan kenyang. Diajaklah saya ke kedai ayam goreng dan bakar sekalian mentraktir si bapak ini yang ternyata cukup komunikatif menawarkan alternatif jalur setelah mengetahui tujuan saya keesokannya akan segera ke Pacitan.

Tujuan berikutnya adalah air terjun utama yang menjadi ciri khas wisata Tawangmangu yaitu Grojogan Sewu, disini saya bebas masuk karena si bapak mengenal penjaga tiket, jaraknya lumayan dekat karena dekat perkampungan penginapan saya, dari loket masuk kita harus berjalan cukup lumayan tetapi tidak jauh, disini cukup ramai pengunjungnya.

Tentunya saya menikmati suasana dan agak lama juga saya disini dengan mendekati air terjun hingga melihat kolam genangannya, setelah selesai maka jalan kembalinya dibuat lebih jauh karena memutar dan menanjak, ternyata si bapak ojek dadakan yang mengantar mempunyai selera humor yang tinggi saat memotong jalan kembali untuk sekedar bergurau dengan pengunjung lain yang lebih dahulu naik.

Pukul 4 lewat saya sudah kembali ke penginapan setelah sebelumnya si bapak juga mengajak saya ke suatu wana wisata yang isinya seperti kawasan hutan serta melewati taman rekreasi Balekembang yang seperti taman bermain kanak-kanak, hingga pada akhirnya saya menerima tawaran si bapak dengan mencarter mobilnya untuk ke Ponorogo keesokan harinya, karena dari sana ada bus ke arah Pacitan dengan intensitas yang cukup sering, berbeda dengan rencana awal saya yang hendak kembali ke Solo untuk mengambil bus dari sana, ternyata keberangkatan ke Pacitan dari Solo itu terbatas dan memakan waktu lebih lama.

Nampaknya sore hari saya tidak bisa untuk berdiam diri sehingga memutuskan jalan-jalan di sekitar dengan berjalan kaki hingga ke terminal yang juga terdapat pasar disana, sempat pula mengisi perut kembali di kedai ayam bakar, hingga jelang petang maka saya kembali ke penginapan untuk berisitirahat.

Keesokan paginya si Bapak sudah bersiap menjemput saya, dia mengajak serta istrinya untuk sekedar refreshing katanya karena kami juga akan mampir di tempat wisata Sarangan yang sudah masuk wilayah Jawa Timur serta melewati gunung Lawu yang siang itu terlihat cerah, kemarin harinya saya juga sempat diajak mampir ke rumah si bapak ketika sebelum menuju air terjun Grojogan Sewu, rumah yang sederhana dengan semangatnya si bapak seperti mengabari istrinya saat itu kalau tidak salah, ketika itu saya belum memutuskan untuk menerima tawaran mencarter mobilnya.

Niat untuk mampir di Sarangan sebelumnya juga sudah ada tetapi diurungkan karena tidak adanya angkutan umum yang cukup, jarak dari Tawangmangu cukup jauh sehingga tawaran dengan sedikit mengeluarkan biaya tersebut tampaknya sayang untuk dilewatkan, karena sepertinya si bapak langsung memberi harga pas sebesar 200rb hingga ke Ponorogo. Ditengah perjalanan si bapak juga mengangkut kenalannya yang membawa banyak sembako, beberapa karung banyaknya.

Pukul 9 pagi lewat akhirnya saya sampai di Sarangan yang seperti komplek wisata dengan telaganya sebagai ciri khas utama wisata dikawasan tersebut, tidak terlalu lama saya disini hanya menaiki kuda mengitari telaga selama beberapa menit untuk kemudian kembali melanjutkan perjalanan, dari jalan utama yang mengarah ke Madiun maka akan mengambil jalan lain yang lebih kecil, orang sana menyebutnya sebagai jalan tikus karena seperti jalur colongan menurut mereka, jalannya memang kecil dan sepi.

Pukul 11 lewat siang hari sepertinya saya sudah memasuki kota Ponorogo, karena si bapak juga sudah agak lupa dengan bertanya warga dimanakah arah terminal atau naik bus ke Pacitan, diarahkan untuk turun di satu perempatan, disana saya turun dari angkutan khusus tersebut dan bersiap melanjutkan bagian berikutnya yaitu jelajah Pacitan.