Senin, 29 Februari 2016

Chemistry


(Re-Write 29/02/2016)

Beberapa waktu sebelum hari itu (Oct 2012),  saya belum tertarik untuk mencari arti dari kata Chemistry, sebuah kata yang sudah populer berseliweran di sekitar.

Sebelum masuk ke bahasan utama, kita lihat dahulu bahwa sesungguhnya kata ini bersifat sangat universal. Yang tidak umum itu digunakan misalnya dalam hal bekerja, seseorang harus punya chemistry dengan rekan kerjanya, supaya dapat bekerja sama dengan baik. Istilah kasarnya disejajarkan dengan nyambung, atau memiliki kesamaan niat, visi, dan tujuan, itu yang berlaku tidak pada umumnya.

Lalu bagaimana pada umumnya? Untuk masa sekarang mungkin mulai dikerucutkan pada hubungan dua manusia dalam pergaulan, selain nyambung juga dapat memberi kenyamanan karena ada suatu kesamaan. Seperti kita punya seorang sahabat, dia yang paling mengerti dan bisa kita beri kepercayaan, tidak sungkan lagi untuk bersuara dan mengutarakan pendapat.

Sekarang kita lihat untuk chemistry yang berlaku pada khususnya, sekaligus yang paling luas digunakan untuk (sampai) saat sekarang, pastinya kita sudah bisa menebak-nebak. Ya, hal tersebut mulai banyak dipergunakan pada hubungan lawan jenis, yang didasari tentang apa yang mereka sebut sebagai cinta.

Awalnya saya masih menganggap suatu Chemistry sebagai suatu kesamaan yang dimiliki. Pernah saya melihat cerita, bahwa kandasnya hubungan dua manusia yang berlainan jenis dikarenakan daya itu telah hilang di antara mereka. Ternyata belum lama itu (Oct 2012) untuk pertama kalinya saya mulai mencari tahu, tentang arti kata tersebut. Di dalam kamus memberi pengertian "reaksi kimiawi", satu hasil yang bagi saya tidak ada nyambung-nyambungnya.

Ketika membaca buku "Chemistry Cinta di Wakatobi" yang secara terus menerus membahasnya, saya juga belum mendapat pengertian kata tersebut. Chemistry diceritakan hanya karena ada "Klik", saat dua mata manusia berlainan jenis saling berpandangan, tidak lebih dari itu.

Saya pernah bercerita tentang Kontemplasi disini, yang membuat seseorang menjadi beda dari awalnya. Saat itu saya belum dapat menemukan kata yang tepat, karena tidak bisa menggunakan kata tanpa mengetahui arti dan maksudnya. Jadi sebetulnya kata yang tepat menggambarkan maksud tersebut yah Chemistry itu, yang berlaku pada khususnya.

Lebih tajam dalam status Twitter salah satu orang yang saya follow (kala itu) tepat waktu, me-retweet sepotong dari tweet berantai "almamater" spiritualnya. Kebetulan sedang berbicara tentang cinta dan jenis-jenisnya, disebutkan suatu cinta yang pernah saya ketahui pula, diantaranya yaitu cinta Agape dan Eros.

Melengkapi pengetahuan saya tentang cinta Eros, sebuah rasa yang berlaku di antara dua manusia berlainan jenis dan itu alamiah. Disebutkan cinta tersebut memicu reaksi kimiawi tubuh, seperti tidak bisa tidur, senang, gelisah, dsb. Hal itu mulai mengaitkan tentang apa yang baru saya ketahui tentang pengertian dasar dari kata Chemistry itu sendiri.

Dengan demikian saya menemukan arti primitif atau dasar dari Chemistry, tentang reaksi kimiawi yang terjadi. Maksudnya adalah terjadinya reaksi kimiawi dalam tubuh kita, hingga kita merasakan sesuatu yang tidak biasa terjadi, itulah reaksi tubuh dalam meresponi keadaan.

Hanya begitu saja? Garis besarnya memang begitu, tapi dari penelitian ada alur-alur yang terjadi, ketika kita mulai merasakan adanya "chemistry basic" terhadap seseorang. Dijelasakan reaksi kimiawi berupa pergerakan hormon itu tidak hanya satu, tapi ada beberapa yang langsung bereaksi. Ada hormon Phenyletilamine, Dopamine, Nenopinephrine, Endorpin, Oxyrocin, dan lain-lainnya. Banyak tidak? Penjelasan lengkapnya ada disini.

Alur penjelasan di atas dikatakan stimulasi otak cenderung berlebihan, hingga perasaan yang "ramai" itu mulai bermain. Pada kala itu mungkin seseorang sedang mengalami proses kontemplasi-nya sendiri, hingga membangkitkan chemistry di dalam dirinya sendiriJadi bukan hanya sekadar ada kesamaan atau kecocokan belaka.

Terus ini tahapan itu ternyata belum selesai, karena masih ada lanjutannya yang justru lebih rumit.  Ternyata reaksi alamiah chemistry itu bisa liar, hingga berpengaruh terhadap pembawaan seseorang, istilahnya mengalami guncangan. Jika sudah begitu seseorang bisa merasa aneh sendiri. Bingung harus melakukan apa, tapi mengalami kesenangan gelisah dll campur aduk jadi satu. Jadi bukan lagi sekadar pergerakan hormon yang kita lihat di atas, karena itu sebetulnya hanya sebagai babak awal saja.

Babak selanjutnya yang disebut sebagai "drama" bisa saja terjadi, pernah saya bahas disini, tentang kehilangan diri oleh karena tahapan kontemplasi. Mungkin tidak masuk di akal bagi mereka secara logika. Sebuah pepatah lama dapat berlaku secara ideal, tentang perasaan "buta" yang dialami seseorang, karena mereka sedang terbawa perasaan atau tidak bisa berpikir jernih. Kenyataannya itu tidak salah, karena tahap tersebut bisa "dicapai" sebagian dari kita.

Nah ada tambahan lagi, "buta" yang saya maksud bukan buta dalam arti menutup mata. Misalnya seseorang yang sedang mengalami jatuh cinta buta, karena melihat seseorang yang dicintainya sempurna. Kondisi yang bisa juga disebut buta, karena adanya permainan hormon lain, ketika seseorang cenderung menutup mata atas kekurangan pasangan. Beda dengan "buta" yang saya bahas, karena buta chemistry itu maksudnya seseorang jadi tidak tahu arah, karena orang itu dipenuhi dengan berbagai feeling di kepala. Jadi buta bukan karena menutup mata, tapi matanya tertutup, bisa dibedakan? :D

Diibaratkan sebagai kumpulan rasa, sebagian orang bisa terseret untuk diving dan menyelam lebih dalam, tidak hanya sekadar snorkeling dari permukaan. Itulah salah satu tanda kedalaman perasaan yang bisa dialami semua orang.

Ada satu gambar yang menarik, pernah saya baca dari sebuah buku novel, tentang sifat sebuah pola, diambil dari sketsa candi Borobudur di bawah ini. Dikatakan pada permukaan sebelah luar punya batasan di garisnya, hingga ada ruang yang terkotak-kotak, sesuai sudut yang dibuat sedemikian rupa. Bisa kita lihat di tiga garis luar.





Lalu dikatakan semakin ke dalam, batasan itu menjadi tidak terkotak-kotak, karena berupa bentuk lingkaran yang tanpa batas dan abadi, sebagai hakekat tujuan dari semua orang, idealnya begitu.

Menurut pandangan saya dari cerita ini, tiga garis di luar itu ada logika yang terbatas, karena ukuran itu terpetakan dengan jelas, hanya berupa iya dan tidak, pilih kanan atau kiri. Sementara lingkaran yang dalam itu bisa kita anggap sebagai emosi, perasaan yang menjadi ranah permainan chemistry tadi, tanpa batas.

Kesimpulannya apakah kita mau terjebak di dalam? Meski dunia tanpa batas itu menyenangkan. Untuk bergerak tentunya perlu "keluar" dari dalam, apalagi kita masih hidup di atas pola tersebut, caranya tentu saja dengan melewati garis-garis tersebut, termasuk logika. Bukankah itu sebuah pilihan? 

Apakah dengan keluar kita meninggalkan emosi yang di dalam? Tentu tidak. Kita bisa membawanya tanpa harus terjebak di sana, bukankah itu pilihan yang lebih mengasyikan? :P

Mungkin lebih tepatnya kita keluar, kemudian "menyusun" ulang garis-garis di luar sana. Bisa saja bentuknya jadi seperti gambar di bawah ini, bahkan tidak terpatok pada kanan-kiri, karena garis yang kita miliki itu dapat berputar dan menjadi lebih dinamis. Bahkan lebih dari itu, selain garis ada juga "warna" yang bisa kita nikmati keindahannya.




Mungkin penjabaran yang saya sampaikan di atas itu hanya berupa reaksi, sebuah keadaan yang ikut menggiring kita sebagai manusianya. Masuk akal dan alami, bukan sebuah sihir meski efeknya memang bisa ke arah sana.

Tapi itu hanya sebuah keadaan, karena sebetulnya kita yang punya kendali atas (keadaan) itu semua, sebagai manusia yang merasakan daya-daya tersebut. Dapat kita anggap sebagai reaksi jujur dari tubuh , ketika panca-indera kita bisa berbicara menggunakan bahasanya sendiri, gerakan chemistry dalam istilah dasarnya.

"Dapatkah orang buta menuntun orang buta? Bukankah keduanya akan jatuh ke dalam lobang?"

Sebuah pepatah bagus dari sebuah kisah, buta di sana dapat disejajarkan ketika seseorang sedang mengalami "drama"-nya sendiri, bahkan dalam arti lainnya. Misalnya mereka itu belum mengerti, serta mentok dalam logikanya sendiri yang memang terbatas.

Memang sebuah tuntunan dari si celik akan membantu, tapi semuanya akan kembali lagi pada orangnya, apakah yang bersangkutan dapat menguasai dayanya sendiri? Itu yang penting. Secara ideal kita sendiri harus "belajar" menguasai emosi diri, jangan sampai balik dikendalikan.


Sebuah kutipan lama di atas mengenai kehilangan diri, atau yang saya sebut sebagai chemistry tingkat lanjut. Berawal dari sebuah perhatian, hingga berubah jadi kontemplasi dalam ukuran tertentu, hingga alurnya berpengaruh terhadap pembawaan dari reaksi hormon dalam tubuh. Kita ambil contoh tadi tentang perasaan cinta, sebagai cerita mayor yang tidak aneh, berlaku di atas bumi ini.

Selain dari pada itu, posisi kita (orangnya) sebagai penikmat chemistry itu jadi mendasar, karena lebih penting dari daya perasaan itu sendiri. :)