Minggu, 26 April 2020

Lebih Dekat



"Lebih dekat? Memangnya selama ini jauh?"
"Mungkin lebih tepatnya jaga jarak."

Kali ini saya ingin bercerita mengenai jauh dan dekat, pada utamanya tentang lebih dekat seperti yang tertulis di judul. Lagi dan lagi saya mengambil contoh wisata perjalanan sebagai gambaran, agar kita lebih mudah menangkapnya.

Saya juga pernah bercerita ketika punya obsesi tinggi, ketika mengetahui pemandangan lautan awan di bawah mata. Gumpalan awan tebal bergulung-gulung itu saya lihat dari gambar video di bawah ini.
Sumber Youtube di sini

Pemandangan yang saya inginkan itu ternyata punya momentum khusus, dalam arti belum tentu pasti kita dapatkan. Alasannya posisi awan selalu bergerak, kalau kata orang sana tergantung kondisi alamnya bagaimana.

Untungnya pada kesempatan pertama kali ke sana (2011), saya cukup dapat menikmati pemandangan yang tidak jauh dari bayangan, berlokasi di puncak bukit Sikunir. Ceritanya sudah ada di sini. Lautan awan atau kabut dengan intesitas tebal, posisinya berada di bawah kita, hingga lirik lagu negeri di atas awan bisa dialami secara langsung.


Kemudian alih-alih fokus dengan kondisi gumpalan awannya, ternyata lebih banyak orang yang fokus pada objek pemandangannya, dalam hal itu berdirinya Gunung Sindoro. Untuk menikmati keberadaannya tidak perlu momentum khusus, karena sifat gunung itu yang diam, hingga muncul pepatah tidak akan lari gunung dikejar.

Saya juga berkesempatan mengunjungi daerah itu (lagi), dua tahun kemudian (2013). Bedanya kali ini lokasi yang dituju itu agak lebih tinggi, bahkan yang paling tinggi di zona wilayah itu. Namanya gunung Prau dan sudah diceritakan di sini. Untuk posisinya memang agak lebih jauh, jadi pemandangan gunung Sindoro akan mengecil karena jauh.

Meski lebih jauh dan pemandangan gunung Sindoro jadi terlihat mengecil, ternyata ada hal baru yang didapatkan, jika berkaca dari posisinya yang lebih tinggi. Apakah itu? Ternyata kita juga bisa menyaksikan gunung lain, yaitu gunung Sumbing yang berada di balik gunung utama tersebut. Jadi selain ukuran jarak jauh atau dekat, ternyata ukuran tinggi dan rendah juga ikut berpengaruh, meski terbantu juga dengan posisinya yang agak lebih ke barat sedikit.

Sumber Youtube : Gunung Prau di sini

Kemudian esok harinya baru mengunjungi Bukit Sikunir (kembali), tapi tidak ada hiasan lautan awan. Cuaca sangat cerah, hingga terbebas dari awan "pengganggu", andai diukur dari bersih tidaknya pemandangan.



Posisi jarak jauh dan dekat, atau tinggi dan rendah akhirnya menjadi penting. Jika berkaitan dengan keinginan menikmati keindahan alam, hal itu sudah beberapa kali saya lakukan. Tapi yang paling berpengaruh itu baru di tahun ini, tentang tujuan tempat wisata yang tidak terlalu jauh, yaitu Puncak Bogor dan Cianjur.

Gunung Gede Pangrango adalah salah satu gunung yang paling dekat dengan Jakarta. Menjadi daerah pegunungan yang mudah diakses, hingga julukan Puncak Wisata melekat pada daerah itu, karena jadi "Puncak"nya daerah ibu kota. Setiap daerah pasti punya koneksi yang demikian, antara daerah dataran rendah, dengan dataran yang tinggi sebagai tempat wisata puncaknya.

Tapi yang membuat saya heran sejak dulu, bagaimana gunung Gede Pangrango ini bisa dinikmati keindahannya secara keseluruhan, bukan sepotong-sepotong atau hanya ujungnya saja. Beberapa posisi untuk menyaksikan bagian Gede Pangrango cukup mudah ditemui, khususnya jika sudah berada di daerah Cipanas Cianjur.

Dari yang paling dekat itu tentu Cibodas, sebagai kaki gunung yang resmi, jika berkaitan dengan perbatasan antara hutan dan pemukiman. Bahkan dari jalan raya Cipanas juga sudah bisa kita saksikan, andai cuacanya cerah tanpa tertutup awan.


Puncak Pangrango dari jalur pendakian Cibodas


Puncak Gede Pangrango dari Cibodas


Bahkan ada posisi yang (paling) dekat sekali, andai ingin menyaksikan pemandangan Puncak Pangrango (Tanpa Gede). Caranya? Kita harus mendaki gunungnya langsung. Kebetulan saya pernah  ke sana, meski hanya punya kesempatan beberapa menit saja mengabadikan pemandangan tersebut. Menyaksikan Puncak Pangrango dari posisi saya berdiri di Puncak Gede.
Modelnya itu teman saya

Sementara jika dari arah Bogor cukup sulit, karena jalur jalan rayanya terhalang sama tebing pegunungan. Bahkan ketika sampai di Jalan Raya Puncak, posisi puncak Pangrango juga masih agak ngumpet, karena terhalang dengan tebing. Tapi saya pernah dapat view Gunung Pangrango yang sangat cantik, dari titik saya berdiri itu di halaman Hotel Seruni, berlokasi di jalur menuju Taman Safari di kaki gunungnya langsung.

Sampai akhirnya jika melihat tujuan wisata di internet, saya menemukan sebuah panorama Gede Pangrango secara menyeluruh. Seperti melihat pemandangan gunung secara utuh. Selain bagian puncak, ada juga punggungan gunung yang menurun, di kedua atau salah satu sisinya. Nama tempatnya itu Gunung Kencana atau tetangganya Gunung Luhur.

Tapi berhubung saya sudah agak malas hiking mendaki lagi, rencana itu baru kesampaian di tahun ini, setelah tertunda-tunda selama beberapa tahun. Serius? Selama itu? Memang iya karena sudah tidak terlalu getol berwisata seperti dulu. 

Kesempatan di tahun ini juga niatnya tidak ingin mendaki sampai atas, meski untuk mendapatkan view pemandangan Gede Pangrango yang sempurna idealnya dari puncak. Akhirnya teori di kepala mulai bermain, mengenai jarak dan posisi, untuk mendapatkan pemandangan Gede Pangrango secara menyeluruh.

Pada awal Februari (2020) menginap di Telaga Warna, lokasinya tepat di samping jalan raya, tapi sudah masuk wilayah perkebunan teh, jadi pagi harinya sudah bisa jalan langsung ke TKP. Setelah jalan beberapa lama dengan kondisi jalan berbatu, akhirnya saya langsung mencari posisi (terdekat), untuk mendapat view yang saya inginkan.


Jadi niat untuk mencapai kaki Gunung Kencana atau Gunung Luhur bukan lagi yang utama. Apalagi setelah melihat kondisi jalan yang berbatu. Saya hanya ingin masuk ke zona kebun teh di sana, agak menjauhi jalan raya dan mendapat pemandangan Gede Pangrango tanpa terhalang oleh tebing.

Bahkan pendapat tentang tergantung kondisi alam juga ikut berpengaruh. Misalnya berharap jangan sampai pemandangan yang saya inginkan tertutup oleh awan dan kabut. Hal itu sebetulnya juga saya alami pada pagi itu, ketika masih melaju di jalan berbatu dan mencari posisi terbaik. Ternyata awan putih masih menutupi pemandangan saat baru datang, jika melihat foto di bawah ini.

Tapi beruntungnya, ketika sinar matahari semakin tinggi, awan putih tadi mulai bergerak dan menghilang. Hingga pemandangan Gunung Gede Pangrango terlihat cukup jelas, jadi saya langsung mengabadikan momentum tersebut, dengan sesekali terdapat hiasan awan menyempil di antara tebing.

Posisi saya itu sebetulnya tidak terlalu jauh dari jalan raya, tapi sudah dapat pemandangan yang diinginkan. Hingga mengurungkan niat untuk sampai tujuan alternatif, lanjut ke Gunung Kencana atau Gunung Luhur. Dari persimpangan patokan ala saya, sudah terdapat Telaga Saat yang terlihat, jika tetap melanjutkan perjalanan. Tapi karena kondisi jalannya itu berbatu, maka butuh kehati-hatian yang ekstra. Berbeda dengan warga sana yang sudah terbiasa, bahkan sudah memodifikasi ban kendaraannnya.


Jika memerhatikan peta, maka posisi Gunung Luhur dan Kencana masih cukup jauh, tentu pemandangan Gede Pangrango akan lebih mengecil juga. Kira-kira seperti gambar di bawah ini jaraknya. Tapi tentunya dengan posisi yang lebih tinggi, pemandangan juga akan lebih berbeda, mungkin ada view yang tidak akan didapat dari TKP saya ambil foto.


Jarak di atas cukup jauh bukan? Antara posisi saya mengambil gambar, dengan tujuan cadangan sampai Gunung Kencana atau Luhur. Kemudian dipadukan pula dengan gambar peta di dibawahnya, tergambar jarak tujuan objek pemandangan yang ingin diambil gambarnya, yaitu Gunung Gede dan Pangrango yang bersebelahan.

Kenapa Puncak Pangrango tidak terlihat, akhirnya terjawab, jika melihat foto yang diambil di bawah ini. Salah satunya karena adanya tebing di punggungan gunung, alias terdapat "Puncak Bayangan" di sekitar pegunungan. Jadi perlu mencari posisi yang tepat, andai ingin menyaksikan pemandangan gunung Gede Pangrango yang agak lebar.

Perkebunan Teh yang saya jelajahi itu batasnya sampai garis warna ungu yang bawah. Sementara untuk garis biru itu tebing yang membatasi akses jalan raya. Kemudian dari garis biru ke kuning itu sudah merupakan zona hutan. Berikutnya tebing kuning yang memutar, serta nyambung dengan garis merah, selain digambarkan sebagai punggungan gunung, ternyata sebagai salah satu puncak dari rangkaian pegunungan tersebut.

Tidak perlu menunggu lama, saya langsung balik ke sana lagi satu bulan berselang. Bulan Maret kemarin menginap di Cibodas (lagi), kemudian pada pagi harinya langsung kembali ke zona perkebunan teh tersebut. Mungkin untuk lebih memenuhi rasa penasaran, kemudian agar lebih memuaskan. Lagipula niat untuk lanjut ke kaki Gunung Kencana atau Luhur masih belum kuat.

Jadi dari niat untuk sampai ke tujuan utama, akhirnya ada perubahan di dalam rencana perjalanan. Apa yang kita inginkan di tujuan tersebut? Apakah menikmati keadaan di sana, atau justru punya niat untuk mengabadikan pandangan ke arah lain. 

Jika berkaca dari pengalaman saya di atas, tentang ingin mengabadikan panorama pegunungan Gede Pangrango, maka saya perlu menentukan tujuan sendiri. Dalam hal itu posisi terbaik, untuk mendapatkan gambar terjelas pula, pastinya lebih dekat lebih baik. Tidak perlu sampai harus ke tujuan yang jauh, apabila sudah dapat dicapai dari titik terdekat. :))


"Jadinya masih tetap jaga jarak?"
"Karena ingin lebih dekat, idealnya tidak berjarak lagi."
:D