Selama ini saya belum pernah punya inistiatif untuk jalan-jalan ke suatu kawasan tertentu sebelum saya merencanakan untuk jalan ke Dieng ini, cerita ini adalah lanjutan dari cerita sebelumnya di pertengahan Agustus 2011, sebelum tiba di tempat ini saya mampir terlebih dahulu ke kawasan lain karena searah.
Mampir ke Baturraden
Saya tiba di kawasan Dieng pada pukul 16.00 lewat dan saya lupa memberitahui kondektur micro bus untuk diturunkan di penginapan Bu Jono, tempat dimana saya berencana akan menginap tetapi turunnya sudah lebih jauh dan naiklah ojek untuk menuju tempat tujuan.
Sempat diantarkan tukang ojek untuk bertanya tentang penginapan yang saya lupa namanya ternyata biaya permalam nya di atas budget yang saya siapkan.
Akhirnya tetaplah saya berkeinginan menuju penginapan Bu Jono karena telah mengetahuinya dari refrensi yang ada, bahkan sampai masuk ke buku "Lonely Planet" yang merupakan buku panduan bagi para traveller di seluruh dunia katanya.
Bertemulah saya dengan pengolah penginapan ini dan langsung cek-in di tempat selama 2 malam karena esok lusanya saya baru berencana menuju Borobudur dan Jogja. Langsunglah saya istirahat sejenak dan mandi, airnya luar biasa dingin sudah lama saya tidak merasakan mandi dengan air es lagi, segarnya sangat terasa.
Sempat ingin jalan malam tetapi kondisi sekitar ternyata diluar dugaan saya, karena pada pukul 19.00 saja lingkungan disekitar sudah sepi, tidak ada keramaian disini. Pada saat itu sedang bulan puasa dan hanya nampak beberapa orang yang jalan dari rumah peribadatan Masjid.
Pada akhirnya saya hanya membeli nasi goreng yang ternyata cukup murah dan mecoba membicarakan dengan pengolah penginapan yang bernama Pak Didi untuk melihat sunrise keesokan harinya di bukit Sikunir, tempat utama yang menarik saya untuk mengunjungi kawasan ini :D, Karena lelah malam sebelumnya hanya tidur di bus, maka pukul 22.00 saya sudah tertidur lelap.
Esoknya pada pukul 04.30 seperti yang dijanjikan saya dibangunkan oleh Pak Didik yang akan mengantar saya ke tempat melihat sunrise, saya tidak sendiri karena ada 4 kawan dari mancanegara yang ikut juga menginap di tempat yang sama dan berencana melihat sunrise, 2 orang warga Prancis dan 2 orang warga Malaysia.
Meluncurlah kami di kegelapan pagi dengan motor, mereka semua dibonceng tukang ojek hanya saya yang bawa motor sendiri, pagi itu sangat dingin tangan sampai gemetaran, inilah memang salah satu sensasi yang ingin saya rasakan :D
Tibalah kami di pinggiran telaga cebong dan memarkir motor, Pak Didi tidak ikut naik hanya salah satunya saja yang mengantar kami naik menjadi Guide, kami mengikuti lampu senter yang dinyalakan karena suasana gelap dan tidak terlihat apapun, perlu waktu sekitar setengah jam untuk naik menuju Viewpointnya, nafas terengah-engah kembali saya rasakan setelah kemarinnya juga sudah pengalaman kilat di Baturraden :D
Saya dan 2 warga Malaysia sepertinya sama karena sekali stop dan ambil nafas berbeda dengan 2 warga Prancis yang sudah naik duluan didepan dan menanyakan harus kemana arahnya sedangkan Guidenya jalan pelan menunggu kami :D
Pukul 05.30 akhirnya tiba di tempat untuk melihat sunrise, masih cukup gelap dengan garis tipis kuning yang menandakan matahari akan datang tidak lama lagi, sudah terhampar awan tipis dibawah mata saya dengan gunung Sindoro yang terlihat sangat jelas, foto2 tentang awan dibawah mata inilah yang membuat saya sangat ingin mendatangi Dieng :D
Merasa takjub karena baru kali ini melihat pemandangan ini secara langsung melalui mata dan saya mengingat salah satu turis Prancis itu berkata "Terima Kasih" kepada guide yang mengantar kami.
Garis kuning yang tipis semakin membesar dan terlihat juga gunung Merbabu dan Merapi yang sangat kecil, cuaca pada pagi itu ternyata baik kata guidenya dan memang alam tidak bisa ditebak, kadang tidak ada kabut atau awan yang mempercantik pemandangan, kadang kabutnya malah berlebih sehingga menutupi pemandangan. Ketika Matahari nampak mulailah kami mengabadikan momen tersebut rasanya saya ingin berlama-lama disana dan pukul 06.00 lewat ketika sudah cukup terang kami turun untuk melihat objek lain.
Tiba di penginapan tangan saya serasa beku dan harus berganti motor karena saya berencana menyewa motor sendiri untuk keliling Dieng pada hari itu, sempat meminta stnk ternyata dibilang aman, motornyapun tidak bisa di kunci stang tetapi aman katanya, beda memang dengan Jakarta :D
Pak didik bersama temannya mengantar 2 turis Malaysia untuk eksplorasi Dieng sedangkan 2 warga Prancis sudah selesai dan hendak menuju Yogyakarta untuk pulang transit di Jakarta mereka bilang.
Dimulailah perjalanan saya menyusuri Dieng dengan Sumur Jalatunda dahulu karena paling jauh, hanya saya sendiri yang melihat itu tidak ada orang lain, hanya warga sekitar yang beaktifitas bekerja sebagai petani kentang. Disini saya hanya sebentar tidak sampai 5 menit karena rasanya kurang menarik.
Perjalanan menjadi lebih terasa karena hamparan pemandangan alam yang jarang kita temui di kota, jarang karena sebelum ini saya sempat melihat gunung di tengah awan ketika melintas di atas jembatan tertinggi di daerah tomang yang kemungkinan gunung gede pangrango atau salak, mungkin cuaca nya sedang baik pada saat itu :D
Jalanlah saya ke tujuan kedua yang arahnya sudah kembali yaitu kawah Candradimuka, dari jalan utama menuju kawah ini jalannya belum aspal dan masih berbatu2 besar, saya tanya katanya motor bisa melaluinya maka dengan cukup bernyali saya memacu motor sewaan ini tapi baru sebentar saya kurang bisa mengimbanginya, lebih sayang motornya pikir saya :D padahal jalan baru 1/4 nya menuju kawah setelah tanya warga, jadi saya parkir dulu motornya dibawah dekat jalan utama untuk jalan kaki.
Jalan kaki juga rasanya sangat bosan, sudah cukup jauh tanya warga yang sedang lalu-lalang ternyata jalan menuju kawah masih jauh, ditempat saya bertanya belum ada setengah jalan, berbeda dengan semangat 45 saya ketika tetap maju kemarinnya di Pancuran pitu, maka kali ini saya memutuskan tidak jadi. (di sini saya lupa mengambil foto jalan menguras tenaganya itu)
Tujuan berikutnya adalah Kawah Sileri, disini jalannya tidak jauh dan sudah beraspal, bertemu dengan Pak didik di tempat pakirnya dan berjalan lagi menuju kawah yang tidak jauh karena sudah terlihat dari tempat parkir sehingga bertemu lagi dengan turis Malaysia disana. Kawahnya sangat luas seperti lapangan yang dibanjiri oli minyak berwarna hitam dan mengeluarkan kelupan asap, saya tidak berlama-lama disini sekitar 15 menit saja.
Perjalanan berikutnya adalah air panas pulosari, dimana dari jalan yang kembali ke arah hotel tadi terdapat pertigaan dan mengambil arah itu, kurang lebih jauhnya sama seperti sumur Jalatunda hanya berbeda arah saja. Jalannya kali ini sangat menurun tajam dan tanya tukang ojek yang mangkal arahnya. dan semakin menurun ketika memasuki gang tempat dimana air panas berada.
Ketika tiba di aliran sungai kecil kembali bertanya warga sekitar ternyata air panasnya harus jalan kaki tidak jauh, sampailah saya disana terdapat beberapa kolam yang dialiri air panas sepertinya dari sumbernya langsung berwarna putih, hanya menceburkan kaki saja saya disini dan berbincang sebentar dengan salah satu warga yang baru selesai mandi, sekitar 30 menitan saya di sini.
Tujuan berikutnya adalah telaga Merdada, jalannya juga mulus beraspal hanya saya seorang diri saat tiba di tempat parkirnya, seperinya biasa2 saja pemandangannya hanya sebentar sekitar 5 menitan saja pergi lagi. ketika sudah kembali dari pertigaan tadi ke jalan utama ke arah hotel saya sempat mengalami insiden kecil, ketika jalan santai saya memperhatikan suatu rambu peringatan tiba2 motor yang saya bawa hampir terjatuh karena terlalu ke kiri dan keluar aspal, untungnya saya masih bisa mengimbanginya, saya bersyukur masih dilindungiNya :)
Kawasan wisata yang saya kunjungi sebelumnya itu masuk kategori Dieng II, karena letaknya lebih jauh dari hotel Bu Jono yang terletak di pertigaan jalan kawasan wisata utama.
Waktu sudah menjelang siang sekitar jam 11.00 saya langsung menuju gardu selamat datang Dieng Area, disini salah satu tempat favorit buat mengabadikan momen pernah berkunjung kesini, jaraknya lumayan jauh juga kalau jalan kaki. :D
Setelah tujuan yang jauh sudah terlaksana semua barulah saya mengunjungi yang dekat dari hotel yang dibedakan menjadi kawasan Dieng I. yang pertama saya datangi adalah telaga warna, disini telaga bisa mnegeluarkan 3 warna untuk musim tertentu, pada saat saya berkunjung berwarna hijau cukup pekat, warna itu dipengaruhi oleh aktifitas belerang di dasar karena telaga ini merupakan hasil dari efek vulkanis (Erupsi/Gunung meletus).
Tempat wisata ini cukup luas dan ramai yang berkunjung, di dalamnya terdapat 3 goa peninggalan kerajaan masa lampau, diantaranya Goa Semar, Goa Sumur dan Goa Jaran. disebelahnya juga terdapat kolam lain yang berwarna berbeda dan dinamakan telaga Pengilon.
Di dalam kawasan ini terdapat jalan setapak yang tembus ke DPT (Dieng Plateau Threater) yaitu seperti bioskop kecil yang menampilkan film yang menggambarkan sejarah dari kawasan Dieng ini selama 15 menit.
Saya pun memilih jalan saja, agak menanjak dan ketika nonton saya hanya sendiri berasa punya pribadi, sebelumnya ada 2 turis asing yang datang tapi sepertinya belum beli tiket, berbeda dengan saya yang beli tiket terusan untuk 4 objek wisata di Dieng I ini. Sebetulnya bisa beli satuan tetapi mungkin karena kesalahan komunikasi jadinya turis asing itu balik lagi ke telaga warga tadi. Setelah selesai berbincang sejenak dengan petugasnya sebelum kembali ke telaga warga karena motor say parkir di sana.
Objek berikutnya adalah kawah Sikidang, dari tempat parkir harus jalan sebentar ke dekat kawah. Bau belerang lebih terasa disini ketimbang di kawah Sileri, kawahnya pun lebi kecil tetapi lebih berisik karena mengeluarkan gelembung2 seperti air mendidih dengan asap yang tebal.
Di sini saya bareng sama turis asing 3 orang yang 1 grup, sempat juga di tawari apakah mau di foto? mungkin tahu saya sendiri jadinya menawarkan jasanya, susah juga sih kalau foto pakai timer karena tidak ada tempat datarnya, diobjek sebelumnya saya selalu pakai timer untuk foto andaikata tidak ada orang sama sekali alias hanya saya seorang diri :D
Disini saya juga tidak berlama-lama, hanya sekitar 10 menitan saja dan tidak berasa ternyata saya belum makan dari pagi, untuk mengganjal beli popmie di tempat parkir, ketika membeli air mineral sempat bertanya ada yang dingin tidak? dan di jawab sudah dingin dengan AC alam kata ibu2nya dan memang cukup adem menjurus dingin, berasa minum dari mata air gunung beneran. :D
Setelah itu saya bergegas menuju kompleks candi Arjuna yang menjadi tujuan akhir, tetapi saat keluar dari tempat parkir kawah sikidang terdapat satu candi yang berdiri, lupa namanya. si bule tadi yang ternyata di antar tour juga mampir tapi hanya sebentar sekali tidak sampai 5 menit, kalau saya agak santai jadinya sekitar 10 menit beda sedikit. :D
Akhirnya tiba juga saya di kompleks candi Arjuna, dari tempat parkir perlu berjalan sebentar untuk sampai ke candinya, disana berdiri 4 bangunan candi yang saling berdekatan. Ternyata terdapat 2 pintu masuk yaitu belakang dan depan, mungkin didepan harus periksa tiket dan saya masuknya melalui pintu belakang yang di jaga seorang ibu tidak periksa tiket.
Seluruh bangunan candi menghadap ke arah barat jadi jika masuk dari depan maka kita akan sampi di belakang candi, disini saya hanya melihat warga lokal yang berjalan-jalan disekitar, hanya sekitar 20 menit saja saya di sini.
Ketika hendak kembali di tempat parkir yang lebih tepatnya parkir di sisi jalan untuk motor terdapat satu candi lain yang berdiri sendiri yaitu candi Gatotkaca dan sempat berbincang dengan ibu2 yang jaga parkir tersebut bahwa candi sejak masa kecilnya sudah ada dan berdiri tetap pada tempatnya sejak dahulu, meski belakangan saya pernah mendengar istilah candi yang di relokasi, pikiran saya ya di pindahkan entah bagaimana caranya, pukul 14.30 kembali ke penginapan dan mengembalikan kunci motor.
Setelah beristirahat dan makan plus mandi karena belum sempat dari pagi, maka sore hari saya kembali keluar, awalnya janjian sama guide sikunir tadi untuk melihat sunset di daerah sikunang dan bukit yang saya lupa namanya tetapi bisa melihat telaga warna dari atas, karena keluar terlalu sore pukul 16.30 lewat maka diantarkanlah saya sama rekan dari guide merangkap tukang ojek tersebut.
Ternyata dari hotel tidak jauh, lebih dekat berhenti dan diajak menaiki bukit lagi, berbeda dengan sikunir yang naiknya serong kanan-kiri, maka bukit yang belakangan saya ketahui bernama Sidengkeng itu menanjak lurus terus dengan jalan yang sempit, sampai diatas ambil nafas deh, di atas sini kita bisa melihat telaga warna dan telaga pengilon.
Nampaknya terdapat bukit lain dari sisi yang berbeda juga untuk melihat telaga warna tapi saya lupa namanya apa. setelah mulai matahari mulai menghilang akhirnya kami turun dan kembali ke penginapan dengan membeli martabak telur dahulu yang harganya sangat murah.
Malamnya hanya istirahat saja dan berbincang dengan pak didik selama beberapa saat dan beliau minta diajarkan tentang membuka dan membuat e-mail di laptopnya karena hendak mengatur sendiri andaikata ada reservasi dari calon penginap, jadilah saya menjadi trainer dadakan pada malam itu sebelum tidur pukul 22.00
Di malam kedua saya terbangun pada pukul 02.30 pagi, dimana saya merasakan kedinginan yang luar biasa, berbeda dengan malam pertama yang sangat lelap karena kelelahan mungkin.
2 selimut tebal sudah digunakan, plus kaos kaki yang sengaja disiapkan juga di pakai tetapi sudah tidak bisa tidur sampai pagi jadilah saya membuat minuman hangat jahe yang sudah saya bawa dari Jakarta.
Keesokannya pagi2 saya hanya berencana untuk berfoto di petunjuk ketinggian yang berada diseberang penginapan, kemarin sempat ingin berfoto tetapi ramai terhalangi sama warga yang berjual, plus saya hendak cuci muka di Tuk Bimo tak jauh dari penginapan yang mengalirkan sumber mata air dan katanya bisa awet muda, kemarinnya saya hendak kesini cuma tidak jadi karena melihat seorang laki-laki mandi dengan telajang bulat. :o
Akhirnya pada pukul 09.00 saya mengembalikan kunci kamar ke pak didik dan berniat ke borobudur sebelum sore, saya menaiki micro bus lagi ke Wonosobo, dan ternyata supir dan kondekturnya cukup baik saya dijelaskan harus kemana dan naik apa ke terminal karena terlihat saya pendatang mungkin.
Tiba di terminal Wonosobo tujuan saya ke terminal Magelang dengan menumpang bus seperti Metro Mini, perjalanan awal cukup bagus pemandangannya kiri-kanan melihat gunung, sampai di Parakan saya disuru berganti bus ke arah pertigaan Secang, pertigaan utama jalan Temanggung-Semarang-Jogja. Pada jalur ini sangat membosankan dan sepi, sempat menjadi penumpang seorang diri tapi bus tetap melaju sampai akhir dengan santai, kalau di Jakarta kan biasanya di oper atau di telantarkan kemudian bus belok entah kemana :D
Dari pertigaan Secang saya disuru berganti bus lagi ke terminal Magelang, disini jalur sudah mulai ramai seperti jalan utama dan tibalah saya pada pukul 13.00 di terminal Magelang dan bertanya bus manakah yang ke Borobudur.
Tiba di tempat pemberhentiannya kebetulan bus baru tiba dan akan jalan 45 menit lagi, jadi saya makan siang dulu di warung nasi sekitar sambil menunggu dan berangkatlah saya sampai di terminal Borobudur pada pukul 14.00.
Sebetulnya ketimbang memasuki candi saya lebih penasaran sama posisi Puncak Setumbu, tempat melihat sunrise dibalik Candi Borobudur, jadilah saya tawar menawar naik delman kesana, jaraknya sekitar 4 km dan ini pengalaman pertama naik delman. :D
Berbincanglah saya selama perjalanan sama di tukang delman ini, menjelang lokasi nampaknya warga sekitar aneh melihat saya, turis nyasar kali tempat untuk sunrise didatangi pada sore hari, tapi saya penasaran sama lokasinya saja akhirnya tahu bentuk puncak setumbu itu.
Pukul 15.00 lewat saya sudah balik ke terminal awalnya pengen masuk ke candi Borobudur juga tetapi niat itu di urungkan karena sudah sore takut kehabisan bus terakhir ke jogja, karena melihat suasana disekitar Borobudur yang kurang enjoy menurut saya andaikata harus menginap disana, plus review untuk sementara tidak bisa naik ke lantai atas candi sampai November 2011, maka saya langsung naik bus yang akan berhenti di terminal Jombor, Jogjakarta.
Jelajah Jogjakarta