Minggu, 06 November 2011

Perasaan vs Pikiran (Logika)




Saya melihat beberapa waktu belakangan, ada sebagian orang mengeluh terhadap apa yang harus dipilih atau diputuskan. Dalam hal ini mereka membandingkan antara memakai perasaan atau logika. Tidak sedikit dari mereka beralasan, ketika logika dan perasaannya bisa tidak sejalan, apakah hal tersebut bisa terjadi? Jawabannya tentu sangat bisa. Kenapa? Karena ternyata mereka agak keliru, dalam menempatkan keduanya di tempat yang sesuai.

Kita ini adalah manusia ciptaan Tuhan, setiap pribadi telah dilengkapi dengan akal budi yang dianugerahkan olehNya. Artinya manusia adalah makhluk ciptaan yang termulia dan memiliki jiwa yang di dalamnya.

Apakah jiwa itu? Sebuah kesatuan unik yang tidak hanya dibedakan atas tubuh dan roh, tapi menjadi penghubung penting, serta hampir memenuhi unsur mahkluk hidup yang membedakan kita dari ciptaan lain. Manusia itu adalah jiwa-jiwa berharga dan diberi kehendak bebas. Jika kita melihat ada manusia stress tingkat tinggi, hingga sudah tidak bisa diajak berkomunikasi, atau berlaku sangat aneh dan tidak bisa berpikir, mungkin saja mereka sedang mengalami gangguan jiwa.

Di dalam jiwa terdapat berbagai macam unsur yang abstrak. Tidak dapat dilihat kasat mata, tapi dapat dirasakan secara langsung oleh pribadi orangnya. Misalnya ada pikiran, perasaan, emosi, naluri, dsb.  Di antara banyak unsur yang mulai diketahui, terdapat pikiran dan perasaan sebagai dua kutub yang berseberangan, sekaligus menjadi penting bagi banyak orang, karena ramai dibincangkan mengenai baik tidaknya dari dua unsur penting tersebut.

Pikiran dan perasaan karena dianggap penting, seringkali menjadi sasaran bagi banyak orang, tatkala mereka tidak puas dengan kehidupan yang sedang dijalankan. Apakah itu benar? Bisa saja benar, tapi semuanya itu akan kembali lagi pada orangnya, karena setiap kejadian pasti didahului oleh pilihan orang tersebut pada awalnya. 

Kita ambil contoh dari percintaan dua manusia yang mudah dipahami. Sudah menjadi kepercayaan umum, bahwa antara lelaki dan perempuan punya kecenderungan yang berbeda. Jika lelaki lebih mengikuti logika, maka si perempuan lebih condong ke perasaan. Hal itu tidak salah, tapi bukan mutlak kejadiannya seperti itu. Karena antara pikiran perasaan bukan hanya dimiliki oleh salah satu gender, dalam hal itu lelaki atau perempuan, tapi keduanya bisa mengalami dua unsur penting tadi secara bersamaan.

Faktanya antara lelaki dan perempuan memang punya perbedaan watak. Jika kaum Hawa adalah tipe pemikir jangka panjang, maka si kaum Adam lebih ke jangka pendek. Apakah itu benar? Bisa benar dan bisa juga tidak tepat, karena semua itu kembali lagi pada masing-masing orangnya, tidak bisa dibatasi hanya kepada dia lelaki atau dia perempuan.

Contoh gampangnya, di antara kaum lelaki juga punya banyak perbedaan watak. Ada lelaki yang berpikir pendek, ada juga lelaki yang berpikir panjang, demikian juga berlaku pada perempuan dalam memandang segala sesuatunya. 

Jadi apa yang membedakan antara logika pikiran dan perasaan? Jawabannya ada di dalam rentang waktu yang digunakan. Contohnya logika atau pikiran, unsur ini lebih berorientasi tentang apa yang terjadi (sedang terjadi sekarang). Berbeda dengan unsur perasaan yang lebih condong pada keadaan nanti, yang akan datang atau sudah terjadi (bukan terjadi sekarang). 

Kita angkat lagi misalnya kasus seseorang yang sedang mengalami patah hati, salah satu pihak bersedih karena merasa ditinggalkan, hingga tidak dapat menerima kenyataan yang terjadi. Jika pihak tersebut mengikuti logikanya (yang sedang terjadi), dengan fakta bahwa hubungannya dengan sang kekasih berakhir, seharusnya orang itu tidak perlu bersedih berkepanjangan, karena yang terjadi hubungan yang ingin dipertahankan itu sudah kandas.

Kenapa bisa demikian? Jawabannya karena mereka lebih mengikuti perasaan yang telah menyukai dan merencanakan sesuatu bersama sang kekasih, tentang hari yang akan datang (belum terjadi), atau adanya kenangan manis di antara mereka berdua (sudah terjadi). Dengan kata lain belum rela melepas perasaannya, yang secara logika tidak memungkinkan lagi untuk diusahakan bersama.

Sudah menangkap maksudnya? Jadi antara lelaki dan perempuan tetap memiliki perasaan dan pikirannya masing-masing. Idealnya mereka tetap menggunakan kedua unsur penting yang menjadi bagian dari jiwa tersebut, bukan lebih mengutamakan yang satu ketimbang yang lain, tapi perlu memberi porsi yang sesuai menurut waktu penggunaannya.

Jadi saya berkesimpulan bahwa pikiran (logika) dan perasaan sesungguhnya berjalan beriringan. Kedua unsur itu hanya suatu bagian yang terdapat di dalam jiwa kita. Kemudian yang membedakan keduanya hanya soal waktu. Jika perasaan lebih menitikberatkan pada hal yang akan atau sudah terjadi (kenangan-imajinasi), maka logika lebih berorientasi pada yang sedang terjadi (realitas).

Manusia merupakan mahkluk dengan kehendak bebas, tentunya perlu bertanggung jawab pula dengan kebebasannya. Itulah yang membedakan kita dengan ciptaan lain seperti yang ada tertulis, karena kita manusia diciptakan segambar dengan Pencipta.

Meski telah dilengkapi dengan pikiran perasaan yang telah lama eksis sebagai suatu pengetahuan, nyatanya ada saja yang menganggap jika manusia selalu tidak maksimal menggunakan pikiran perasaannya, mengapa hal tersebut terjadi? Saya memiliki opini hal tersebut tidak akan terjadi , andai kita tidak keluar dari jangkauan Pencipta kita. Semakin kita menjauh dariNya, maka ketajaman di dalam kita berpikir dan berperasaan akan semakin menumpul.  :)

Gbu.