Rabu, 02 September 2020

Berbagi Chemistry


Berbagi Chemistry? Memangnya bisa dibagi?
Bisa saja kalau mau.


Tentang topik bahasan ini sudah pernah di kupas di sini dan di sini. Tulisan pertama Chemistry lebih mengangkat bagaimana reaksi itu muncul. Sedangkan tulisan yang kedua Zero Chemistry lebih fokus tentang apa yang dialami, ketika reaksi itu mulai datang. Kali ini ada lanjutannya, menjadi bagian ketiga untuk melengkapi.

Pada bagian awal ini langsung saja kita tekankan, bahwa chemistry itu ternyata punya pengertian sederhana dan tidak rumit. Sudah tahu istilah gampangnya? Chemistry itu tidak lain dan tidak bukan adalah Emosi, pastinya kalau kata itu sudah tidak asing lagi di telinga. Jadi kita garisbawahi saja antara keduanya itu serupa untuk bahasan kali ini.

Pada tulisan kedua di alinea terakhir Zero Chemistry, saya sempat menyinggung tentang sebuah bentuk Emosi. Namanya itu Hasrat dan silakan saja cari pengertian dasarnya. Kata itu menjadi penting, tatkala dibandingkan dengan lawan katanya, bahwa untuk merasakan chemistry itu harus pakai rasa, tidak bisa pakai logika, karena memang ranahnya beda. Lebih jelasnya kita lihat (lagi) potongan video singkat dari film MIB International di bawah ini, ketika keduanya dibandingkan.



Jadi Hasrat ini beda ukuran dengan Logika. Contoh itu misalnya batasan maksimal Logika adalah 100%, maka nilai persentase Hasrat bisa lebih dari itu. Kalau dari sebuah susunan kalimat, Logika itu titik penutup kalimat, sementara Hasrat itu titik titik di akhir kalimat, alias tetap dapat berlanjut, bisa pula tanpa batas, sudah menangkap maksudnya? 

Tapi sebelum lanjut dalam mengangkat bahasan Hasrat ini, ada sebuah pandangan menarik, saya dapat dari obrolan tokoh. Keduanya membahas kecenderungan seseorang memakai Logika atau Emosi (Perasaan). Hal itu berhubungan pula dengan tumbuh kembang fisik seseorang, termasuk pula organ otak yang menaungi keduanya. Ternyata hal itu dipengaruhi oleh usia seseorang, normalnya demikian disertai dengan komentar beliau yang cukup jenaka.

Di bawah usia 23 = Otak Emosi lebih dominan. (Tidak pakai mikir)
Usia 23-27 = Otak berimbang antara Emosi dan Logika. 
Di atas usia 27 = Otak Logika sudah matang. (Kebanyakan mikir)

Nah sudah cukup jelas bukan dari urutan waktunya? Ketika seseorang memiliki kecenderungan antara mengikuti Emosi atau Logika. Jadi tentu sebuah anugerah tersendiri, andai kita bisa "Merasa" terhadap sesuatu, bisa apa saja. Hal itu berlaku pula dengan sosok pribadi orang lain, dalam hal ini lawan jenis, karena bersama mereka kita bisa membangun hubungan dengan istilah "Hidup Baru."

Jadi "Merasa" itu erat kaitannya dengan Emosi, sebuah daya yang bukan tidak memakai Logika, tapi justru dapat melampauinya. Fakta juga ikut berpengaruh, ketika seseorang tertarik kepada yang lain, sampai hitung-hitungan Logika menjadi tidak penting lagi, sudah mengerti maksudnya? Chemistry itu adalah tahapan ketika Emosi mulai ikut bermain.

Oleh sebab itu, saya merasa aneh kalau ada yang bilang, tentang seseorang perlu ada chemistry dengan rekan kerja. Bukankah pekerjaan itu erat dengan ketelitian dan disiplin? Alias memakai Logika penuh. Tentu akan jadi bermasalah, andai sesama pekerja dituntut pula punya hubungan Emosi. Justru sebaliknya, mereka harus bisa memisahkan Emosi dan Professionalisme di dalam bekerja, hingga batasannya cukup di angka 100% saja maksimal, jangan lebih dari itu. 

Mungkin ada kata lain yang lebih tepat, jika menyangkut hubungan dengan rekan kerja. Misalnya lebih condong satu metode atau satu gaya, agar bisa nyambung dan jadi teman kerja yang menyenangkan. Sebaliknya sangat tidak dianjurkan untuk membawa perasaan di sana. Andai sampai kejadian terbawa perasaan, pasti akan ada perpecahan kongsi, atau ada pengelompokkan dan kubu-kubuan dalam bekerja, setuju atau tidak? Xp

Hal serupa juga berlaku untuk pertemanan, karena biasanya kita tidak melibatkan emosi ketika menjalin persahabatan, bahkan untuk teman yang terdekat sekalipun. Untuk itulah biasanya mereka jadi salah satu pengingat, andai kita sedang terbawa perasaan tentang sesuatu, untuk bisa kembali berpikir jernih dengan batasan logika kita. Andai melibatkan perasaan, pastinya kita akan seringkali tersinggung dan lain sebagainya. Karena mereka itu sebatas teman, jadinya hanya menggunakan logika, tidak perlu sampai dibawa oleh emosi. Seperti teman kerja, mungkin kecocokan dan kesamaan yang membuat kita nyaman dengan mereka, setuju?

Ceritanya bisa agak berbeda dengan saat kita menjadi penggemar. Misal menyukai tim sepak bola, atau menjadi fans dari sebuah basis penggemar. Untuk kegiatan ini kita masih bisa merasakan pake Emosi, biasanya itu juga terjadi pada saat usia kita muda, yang terbawa hingga dewasa. Lebih jelasnya sudah saya bahas pula di sini, tentang nilai menjadi fans. Perlu digarisbawahi juga, antara pekerjaan dan penggemar juga berbeda. 

Jadi kita sudah ketahui bersama, bahwa Chemistry itu Emosi. Kemudian salah satu bagian dari Emosi tersebut namanya Hasrat, identitas lain dari perasaan yang sering disinggung banyak orang, mengenai hubungan dengan pribadi lain. Hingga pepatah bahwa kita bisa merasakan chemistry atau tidak dengan seseorang itu benar adanya. Semua itu tergantung kitanya sendiri, apakah mengizinkan Emosi ikut ambil bagian dalam ketertarikan atau tidak.

Di dua tulisan terdahulu sudah dibahas, tentang bagaimana tahapan chemistry muncul, serta bagaimana bentuknya dan bagaimana reaksi kita. Entah kebetulan atau tidak, contoh yang diangkat secara tidak sadar (ternyata) agak sesuai, jika dikaitkan dengan urutan usia kita yang dijabarkan di atas. Pertama dimulai dari rasa debar-debar (saat kita masih muda), berlanjut dengan adanya rasa tersentuh (saat dewasa muda).  Jika pernah mengalaminya tentu sebuah anugerah, patut pula kita bersyukur untuk bisa belajar dari sana.

Di bawah usia 23 tahun = Chemistry itu berdebar-debar.
Usia 23-27 tahun = Chemistry itu tersentuh. (Berdebar dalam intensitas kecil)

Kemudian bentuk rasa apa yang datang saat kita telah dewasa? Ini sedikit pengalaman yang mau kita angkat. :D

Pada tulisan ketiga ini, anggap saja saya mulai dewasa, masuk dalam fase usia yang di atas 27 tahun. Artinya saya lebih cenderung berpikir dulu sebelum merasa. Jika situasi sudah mendukung (tetap membuka diri), barulah saya mulai menggunakan feeling. Sempat juga disinggung bahwa kita bisa memilih, kepada siapa daya chemistry itu keluar. Artinya pada saat dewasa sebetulnya kita juga tetap bisa merasakan, tapi harus melalui tikungan-tikungan logika kita sendiri. :))

Dengan bisa dan perlu memilih kepada siapa, artinya daya chemistry ini harus kita aktifkan secara manual. Memang tidak lagi berlaku otomatis seperti saat kita muda dulu, bahkan saat dewasa muda saja kadarnya sudah semakin berkurang, ketika dikatakan otak kita berimbang antara Emosi dan Logika. Jadi semuanya itu akan kembali lagi, apakah kita mau atau tidak. Mungkin di sini letak kekeliruan banyak orang (usia dewasa), mungkin saja mereka tetap berpegang, bahwa perasaan dan chemistry itu akan datang secara otomatis (seperti saat muda), padahal tidak dan perlu diusahakan dulu. 

Tulisan kedua saya saja judulnya sudah sangat jelas berbunyi Zero Chemistry, dalam arti pada awalnya Emosi kita terhadap seseorang itu kosong, karena lebih cenderung untuk berpikir dulu. Selanjutnya kalau kita mau, bisa saja chemistry ini kita angkat, tentunya beriringan dengan pengalaman kita dengan sosok yang bersangkutan. Sampai pada akhirnya Emosi ikut serta dalam hubungan yang terbangun. Jadi di sini kita sendiri yang menentukan ketertarikan, bukan orang lain, setuju?

Selanjutnya adalah apa yang kita lakukan terhadap Emosi tersebut, atau Hasrat pada khususnya. Apakah hanya sekedar numpang lewat saja? Apakah mulai dinikmati dalam hari-hari? Atau mulai ditindaklanjuti dalam aksi? Semua itu akan kembali lagi pada orangnya masing-masing. Istilah yang umum terdengar adalah, akhirnya seseorang mengalami perasaan berbunga-bunga, alias sedang kasmaran. Xp

Hasrat itu pengertiannya keinginan yang kuat, jadi bukan lagi sekadar keinginan biasa. Ada sebuah dorongan lain yang menjadi tenaga tambahan. Biasanya memenuhi pikiran kita tentang kemaren dan hari esok, hingga perasaan itu menjadi kuat dialami. Kembali lagi, perbedaan Logika dan Perasaan sudah saya bahas tuntas di sini. Jadi ada sebuah kenangan dan imajinasi yang diharapkan terjadi, idealnya kita berusaha agar yang diangankan terjadi.

Hasrat yang muncul itu erat kaitannya dengan bentuk Emosi lain, salah satunya itu Bahagia. Misalnya ketika seseorang punya hasrat ketertarikan dengan yang lain, kemudian ada perasaan senang dan bahagia terjadi. Keduanya memang jadi salah satu tujuan penting dari arah sebuah hubungan, istilah kerennya itu menuju akhir yang bahagia.

Pertanyaan pentingnya posisi Bahagia itu ada di mana? Serta seberapa banyak kadarnya? Hal ini juga menjadi penting untuk kita sadari. Ada yang bilang pada akhirnya seseorang harus punya "kebahagiaan" penuh di dalam diri sendiri, bukan yang setengah-setengah, apalagi menggantungkan rasa bahagia itu di tangan orang lain. 

Misalnya hasrat memulai hubungan dengan seseorang, tapi sumber kebahagiaannya bergantung pada orang yang sedang didekati, bukan dari dirinya sendiri, jika demikian rasa bahagia orang itu dikatakan belum penuh. Istilah kasarnya jika rasa bahagia itu hanya didapat dari pasangan, maka apa yang bisa diberikan oleh orang tersebut? Dirinya sendiri saja belum bisa bahagia, bagaimana bisa membahagiakan orang lain? Nah di situ kuncinya. :o

Idealnya kita perlu punya rasa bahagia terlebih dahulu, hingga kita mampu dan bisa membagi kebahagiaan itu dengan orang lain, serta pasangan pada khususnya. Apalagi jika keduanya bisa saling berbagi kebahagiaan, pastinya akan terasa lebih utuh. Atau istilah kekiniannya adalah hubungan dua arah, karena keduanya saling menginginkan, bukan salah satunya saja, jika demikian kurang kokoh karena pincang sebelah.

Bahkan ada lagi cerita lain, misalnya seseorang sudah bahagia dengan dirinya sendiri, ternyata sebagian dari mereka lebih memilih sendiri. Tentunya itu menjadi hak mereka, masing-masing kita pasti punya pemikiran, tentang bagaimana bahagia itu, bisa bersama pasangan atau berlanjut membangun keluarga, atau sendiri saja sudah cukup. Fakta itu masih berlaku searah, karena bahagia dengan diri sendiri, jadinya yah sendiri saja kalau gitu. :P

Cerita lain ada juga yang serupa namun tidak sama. Mereka yang terus menerus berusaha mencari pasangan, tapi cara berpikir yang ditanamkan itu pribadi dirinya sebagai single, tingkah ini bisa jadi penghambat pula. Bagaimana kita bisa "menarik" andai ketertarikan itu tidak kita upayakan. Sebaliknya mereka justru membangun tembok tinggi sebagai pertahanan diri. Mereka yang ada di posisi ini jadi balik melawan arah, ibarat seharusnya mendekat tapi malah menjauh dengan alasan kenyamanan diri, tentu tidak akan ketemu. 

Menurut saya idealnya, andai ingin mencari pasangan, sudah selayaknya kita mulai berpikir dari kaca mata "berdua". Selain bahagia dengan diri sendiri, maka kita juga bisa keluar dan menularkan kebahagiaan tersebut kepada yang lain, terlebih kepada sosok khusus yang kita pilih. Ini kita baru sebatas membicarakan sikap dan tingkah laku, belum sampai pada tahap membangun chemistry yang jadi bahasan utama. Tentu menjadi tugas dan upaya kita untuk mencapai tahap Emosi tersebut.

Berbagi di sini juga penting untuk dipahami. Bukan artinya karena berbagi jadi ada yang hilang. Contoh kebahagiaan kita sudah utuh, kemudian kita membagi rasa bahagia itu pada pasangan, ternyata kadar kebahagiaan kita itu tinggal setengah. Hitung-hitungannya tidak bisa demikian, karena jika begitu kita masih menggunakan Logika, belum sampai pada tahap "berhasrat" dalam sebuah keinginan berbagi.


Logika :  Satu dibagi Setengah = Hasil akhirnya tinggal Setengah

Berbagi hasrat itu tidak berhenti di angka 100%, tapi mampu dan seharusnya melampaui batasan yang ada. Misalnya perbandingan contoh tadi, kebahagiaan kita sudah utuh, kemudian kita membagi rasa bahagia itu pada pasangan. Nah jika menggunakan Hasrat, maka kadar bahagia kita tidak akan berkurang, sebaliknya tetap penuh, bahkan melimpah, karena selalu terisi dengan berbagai pengalaman. 


Hasrat : Satu dibagi Setengah = Hasil akhirnya tetap Satu

Terkecuali jika kita tidak berhasrat lagi, atau tajamnya berhenti mencintai, dengan sendirinya keinginan berbagi itu juga akan hilang. Memangnya bisa? Sangat bisa. Contohnya itu dua orang yang saling mencintai, tapi ketika ada keraguan dan hasrat mulai berhenti, maka hitung-hitungan akan "turun" ke Logika, hingga ada saja alasan-alasan ketidakcocokan. Oleh sebab itu yang namanya hubungan perlu diupayakan tanpa henti, termasuk adanya komitmen di awal.

Hasrat dan kebahagiaan yang kita miliki di dalam diri, mungkin serupa dengan rasa cinta yang terdengar lebih nendang. Siapa saja pasti akan tertarik dengan yang namanya cinta, khususnya menyangkut cinta kepada sosok lawan jenis. Tiba-tiba saja saya jadi mengingat stiker yang saya beli zaman dulu, kalimatnya sederhana, tapi punya arti yang sangat dalam.

"Jaga apa yang kita cintai, agar selalu dapat mencintai."

Apa yang harus kita jaga? Tentunya apa yang kita punya sendiri dalam bentuk Emosi. Misalnya rasa bahagia, hasrat, termasuk juga cinta. Imbasnya dengan rasa cinta yang kita miliki, maka kita dapat mencintai yang lain. Dalam arti khusus, pada akhirnya kita juga berbagi rasa dengan sesama, itulah yang membuat sebuah hubungan lebih hidup, saling mengisi satu sama lain. :))

Kalau hanya Logika saja memang mudah. Tapi masalahnya selain Logika yang terbatas, kita juga punya Emosi yang tanpa batas. Jadi kita harus memberi perhatian khusus pada "kekayaan" perasaan tersebut sebagai bentuk kepribadian.

Kembali lagi ke awal, meski punya dan bisa merasakan bentuk chemistry yang melampaui Logika. Hal itu jadi tidak lebih bernilai, ketimbang mereka yang berhasil melangkah dalam Logika (tanpa melibatkan perasaan). Lebih baik mana? Berhasil dan jalan tapi kadarnya di bawah 100%, atau punya tenaga di atas 100% tapi tidak sampai berjalan? Kembali lagi pada masing-masing pengertian, serta apa yang jadi kemauan tiap-tiap orang.

Kita juga harus ingat, meski bisa berjalan hanya dengan mengandalkan Logika, tapi sesungguhnya yang namanya Emosi dan Hasrat itu tetap ada. Idealnya perlu kita upayakan juga, agar bisa dirasakan dan pada akhirnya bisa saling mengisi kebahagiaan. Jangan sampai berhenti mencintai, atau lebih tragisnya memilih bubar dengan alasan tidak pernah ada rasa. Jika demikian kita seperti menyimpan bom waktu yang bisa meledak kapan saja.

Untuk melibatkan perasaan sesungguhnya tidak sulit, asal kitanya sendiri ada kemauan. Caranya hanya tinggal membuat apa yang kita lakukan dan pikirkan sejalan. Misalnya andai kita menggandeng tangan pasangan, hal itu karena perasaan kita juga menginginkan, serta senang dan bahagia ketika itu terjadi. Bukan soal karena sudah punya hubungan, maka sentuhan fisik sekadar jadi kewajiban dan biasa saja. Jika demikian istilah penyangkalan berlaku, tentang dua orang yang dekat secara jarak, tapi ternyata pikiran mereka sangat jauh satu sama lain.

Atau bisa juga dengan melatih suara hati kita, alias mampu berbicara dalam hati, tujuannya untuk "membangun" Emosi dan perasaan kita lebih peka dan kuat. Caranya? Kembali lagi ke kata dasarnya, bahwa mereka merupakan bentuk tenaga yang berasal dari dalam diri. Istilah uniknya itu Tenaga Dalam, bahasan itu sudah diangkat di sini. Atau bisa juga memakai istilah lain yang lebih umum, Emosi dan Perasaan itu tidak lain dan tidak bukan adalah kondisi Batin seseorang.

Di akhir tulisan ini, tiba-tiba saya jadi mengingat kutipan sederhana dari seorang teman sewaktu dulu. "Apa yang berasal dari hati, akan menyentuh hati." 

Terjemahan bebasnya, jika kita memakai Emosi (Hati) dan membagi perasaan tersebut kepada sosok lain, idealnya mereka juga akan merasakan. Ada yang penuh, kebahagiaan terisi, reaksi mereka idealnya juga akan memakai Emosi karena sudah "tersentuh" tadi. Jika begitu bukankah dua pribadi itu saling mengisi? Tentu akan lebih baik. :))

Oh jadi berbagi itu tidak berkurang yah.
Benar, berbagi itu justru agar lebih utuh bertambah.
Terdengar lebih seru bukan?!?



Update 2023 :

Pada akhirnya ada sebuah tambahan di tulisan "Berbagi Chemistry" ini, menyangkut bahasan yang mungkin sedikit menggantung di beberapa alinea terakhir di atas. Apa tuh yang sedikit manggantung? Coba saja dibaca ulang jika ingin mendapat gambaran utuh, atau bisa lanjut di alinea berikutnya. Xp

Kata-kata yang sedikit abstrak adalah saat kita hendak melibatkan perasaan. Pada bahasan ini khususnya mengenai hubungan dengan lawan jenis, berikut dengan segala daya yang menyertai, termasuk juga chemistry atau emosi yang diangkat di atas, serta tersaji dalam trilogi tulisan ini.

Di atas saya sebutkan bahwa antara pikiran dan tindakan harus sejalan. Misalnya menggandeng tangan pasangan, itu karena kita memang menginginkannya, bukan sekadar tugas yang harus dilakukan. Kemudian dilanjutkan dengan melatih suara hati kita, hingga bisa berbicara dalam hati (pikiran), bahkan juga bisa berkomunikasi (non-verbal) tanpa kata-kata. 

Film Aloha (Komunikasi Diam) Non-Verbal

Ternyata tentang suara hati & tindakan yang sejalan dengan perasaan, itu hanya sebuah gerakan, padahal di balik gerakan itu ada sesuatu yang jauh lebih penting, apa tuh? Sesuatu yang penting itu adalah niat, atau jika dikaitkan dengan niat adalah seberapa tinggi nilai ketulusan kita dalam menjalankan niat tersebut. Tulus? Tentunya kita sering mendengar jenis emosi ini. Jadi kembali lagi pada tulisan kedua di sini. Tentang hasrat dan gairah, alias passion yang punya daya melampaui logika, karena punya tenaga yang lebih besar dalam mendorong kita bertindak.

Niat yang tulus, atau ketulusan itu sebetulnya ada di masing-masing dari kita. Ini adalah sebuah keinginan murni, pastinya bertujuan untuk kebaikan kita dan yang lain. Jika ada nilai yang merugikan kita sendiri atau yang lain, sudah pasti nilai ketulusan itu tidak berlaku sepenuhnya, karena ada sebuah kepentingan lain, hingga nilai kebaikan yang tidak terpenuhi di sana.

Nah tentang niat ini juga sudah dituliskan di sini, berbicara bahwa hukum alam itu tidak hanya sebab akibat, tapi ada hukum lain yang menaungi, atau menjadi dasar dari logika sebab akibat tersebut. Menurut kamus KBBI sendiri, kata tulus itu pengertiannya sungguh-sungguh, bersih hati, keluar dari hati yang jujur. Atau dalam bahasa sederhana itu berupa jujur, ikhlas, tidak berpura-pura. Alias kalau menurut saya yah apa adanya saja, meski kini banyak pihak mulai meracuni ketulusan itu dengan apa apanya. Xp

Ketulusan ini tidak hanya berlaku dalam hubungan dengan pasangan, tapi bisa juga pada hal-hal lainnya, seperti pekerjaan, tingkah laku kita terhadap sekeliling dan lain-lain. Tapi pastinya dalam hubungan bersama dengan pasangan itu berlaku khusus, karena sebagai pribadi yang paling ideal, untuk kita menuangkan ketulusan itu berulang-ulang tanpa batas. Termasuk pula dengan keluarga kita, ketika awalnya dimulai dari kedekatan kedua orang tua kita, setuju?

Ketulusan itu juga tidak lain dan tidak bukan setara dengan segenap hati. Sesuai dengan pengertian KBBI yang menjelaskan dengan bersungguh-sungguh atau kesungguhan. Kembali lagi apa yang kita ingin dengan tulus, idealnya untuk kebaikan semua, minimal untuk kebaikan diri sendiri. Nilai tulus itu menjadi bengkok, saat niat itu memang baik untuk kita, tapi justru merugikan yang lain.

Tulisan awal adalah tentang getaran dan berdebar-debar dan sejenisnya. Kedua adalah tentang hasrat dan gairah yang menyentuh emosi. Ketiga ini adalah tentang nilai dari emosi yang melampui logika, termasuk alinea tambahan ini yang mengangkat tentang niatnya dan ketulusan yang kita punya.